Selasa, 22 Oktober 2013

Kartu PS dengan tanda tangan Pendiri PS

Kartu PS di bawah ini adalah milik almarhum Bapak saya, dan ditandatangani langsung oleh Pendiri PS Ama Rd Puradiredja, 28 Januari 1965 di Sagalaherang.


Selasa, 15 Oktober 2013

Apakah betul pendiri Majapahit dari sunda ?

Berita atau artikel yang ditulis dalam http://bataviase.co.id/node/150855, tertanggal 30 Maret 2010 menuturkan bahwa Keturunan Sunda juga menjadi raja di Majapahit.

Berikut adalah petikan artikel tersebut  :
" ........ Sebagian mereka tinggal bersama keluarga raja Majapahit dan keluarga-keluarga keturunan Sunda yang tinggal di Majapahit semenjak masa Sri Kertarajasa -Raden Wijaya atau Jaka Sesuruh yang berasal dari Kerajaan Sunda- merintis berdirinya Kerajaan Majapahit ........"

Point inti dari petikan artikel tersebut adalah Raden Wijaya atau Jaka Sesuruh yang berasal dari Kerajaan Sunda, hal ini jelas-jelas SALAH BESAR dan dibuat-buat. Penulis artikel tersebut sepertinya menggunakan referensi Kidung Sundayana, tetapi tidak memperhatikan prasasti-prasasti jaman Majapahit maupun apa yang tertulis di dalam kakawin Negarakertagama.

Kakawin Negarakertagama pupuh XLVI/2 dijelaskan : " ... . Narasingha(murti) menurunkan Dyah Lembu Tal, sang perwira yuda, dicandikan di Mireng dengan arca Budha". Selanjutnya dalam Pupuh XLVII/1 dijelaskan : " Dyah Lembu Tal itulah bapa Baginda Nata (Wijaya), dalam hidup atut runtut sepakat sehati .....". Dari uraian kedua pupuh tersebut dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa Sanggramawijaya atau yang akrab disebut Raden Wijaya adalah putera Dyah Lembu Tal, sedangkan Dyah Lembu Tal adalah putera Narasinghamurti dari Singosari (Tumapel), yang saat ini berada di wilayah Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Fakta lain adalah apa yang tertulis dalam Prasasti Kudadu bertarikh 1294 M yang menyebutkan bahwa Negara baru Majapahit dianggap sebagai lanjutan kerajaan Singasari yang telah runtuh pada tahun 1292, sebagai bukti kesetiaan pendirinya kepada para raja leluhur di Singasari. Selanjutnya, Sanggramawijaya sendiri mengakui bahwa ia adalah keturunan Singasari, putera Dyah Lembu Tal, cucu Narasinghamurti dan menantu raja Kertanegara.

Dengan demikian apa yang tertulis dalam artikel bataviase.co.id tersebut di atas adalah salah besar dan sama sekali tidak berdasar fakta-fakta sejarah yang ada.

bahasan di atas :
Sayang sekali tulisan negarakertagama di atas tidak menulis bahasa aslinya (jawa kuno), artinya dengan hanya menulis terjemah bisa merubah arti. Berita tentang R Wijaya dari sunda pertama kali diketemukan dalam naskah carita parahiyangan yang dibuat kira kira tahun 1580-an setelah pajajaran runtuh, naskah ini diketemukan di daerah galuh, orang yang pertama kali meneliti adalah K.F. Hole (1881), CM. Pleyte, R.M.Ng. Purbacaraka (1921), H. ten Dam (1957), J. Noorduyn (1962, 1965), W.J. van der Meulen (1966). Raden Wijaya adalah anak dari Prabu Jayadarma dari kerajaan sunda, sedangkan ibunya adalah Dyah Lembu Tal anak dari Mahisa Campaka/Narasinghamurti anak dari Mahisa Wongateleng anak dari Ken Arok. Berarti dari garis ibu R Wijaya adalah keturunan ke 4 dari Ken Arok. Sedangkan ayahnya adalah Rakryan Jayadarma, putra Prabu Guru Darmasiksa raja Kerajaan Sunda-Galuh yang memerintah tahun 1175-1297, Rakryan Jayadarma menjadi putra mahkota yang berkedudukan di Pakuan. Akan tetapi ia meninggal dunia karena diracun oleh musuh. Sepeninggal suaminya, Dyah Lembu Tal membawa Raden Wijaya pergi dari Pakuan. Keduanya kemudian menetap di Singhasari, negeri kelahiran Dyah Lembu Tal. Dalam Naskah Carita Parahiyangan ada 2 keturunan raja sunda yang menjadi raja di jateng/jatim, yaitu Sanjaya di Mataram Hindu, dan R Wijaya di Majapahit. Kembali ke naskah dalam Nagarakrtagama (atau lebih tepatnya disebut kakawin Desa Warnnana) wirama (pupuh) 46 bait kedua, tertulis"...lawan sri nara singha murttyaweka ri dyah lebu tal susrama, sang wireng laga sang dhinarmma ri mireng boddha pratista pageh" (...dengan sri Nara Singamurti ayah Dyah Lembu Tal yang terpuji, pemberani dalam pertempuran diabadikan di mireng dalam wujud arca Budha). dalam wirama (pupuh) 47 bait pertama, termaktub "dyah lembu tal sira maputra ri sang narendra" (Dyah Lembu Tal berputra baginda raja/Kertarajasa)
dalam wirama (pupuh) 46 itu tidak disebutkan apakah Dyah Lembu Tal seorang laki-laki atau perempuan. kata-kata "sang wireng laga..." (sang pemberani dalam pertempuran...) jika dicermati bukanlah merujuk pada sosok Dyah Lembu Tal tetapi pada sosok Sri Nara Singamurti, ayah dari Lembu Tal. sedangkan dalam wirama (pupuh) 47 hanya disebutkan bahwa Dyah Lembu Tal berputra Kertarajasa. jadi Nagarakrtagama tidak menjelaskan Dyah Lembu Tal itu seorang laki-laki atau seorang perempuan.
mengapa Prapanca tidak memberi uraian yang lugas soal Dyah Lembu Tal? Dalam (wirama) pupuh 46 dan 47, Prapanca memang ingin bercerita soal garis darah prabu kertarajasa (raden Wijaya). garis darah raja-raja. prabu pertama Wilwatikta itu/Kertarajasa (raja) merupakan keturunan nara Singamurti (raja/bersama dengan Wisnuwardana). jadi seolah Dyah lembu tal dilewati saja karena ia bukan raja penguasa.
jika semisal memang Dyah Lembu Tal adalah perempuan, mengapa Prapanca tidak menyebutkan siapa ayah Raden Wijaya? analisisnya jika mengacu pada Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara bahwa ayahnya adalah Rakeyan Jayadarma dari Sunda, maka tidak mungkin Prapanca akan menyebut sesuatu tentangnya. mungkin sekali "Sunda" adalah sesuatu yang sensitif mengingat Prapanca juga tidak menyebut peristiwa Pasunda Bubat sama sekali. jadi nama Rakeyan Jayadarma (sebagai orang Sunda) tak mungkin dimasukkan Prapanca dalam kakawin puja-pujinya itu.
Secara umum memang tafsiran atas "sang wireng laga" itu selalu mengacu pada Lembu Tal, tetapi hal ini bukan tafsir final. bukan sebuah fakta yang validitasnya telah teruji benar. banyak tafsir soal isi dalam kakawin desa warnnana yang masih perlu diberdebatkan lagi. permasalahannya kita sering membaca kakawin desa warnnana dalam bentuk sudah terjemahan, semestinya kita membaca masih dalam bentuk bahasa aslinya atau setidaknya telah diubah dalam bahasa Jawa kawi. kembali ke permasalahan awal, memang betul bahwa raden Wijaya itu keturunan Arok-dedes. ia memang justru darah murni Arok Dedes, bukan seperti penguasa-penguasa Singosari terdahulu yang didominasi konflik keturunan Tunggul Ametung-dedes dengan Arok-Umang tetapi bahwa Wijaya keturunan Arok hal itu tidak bisa menjadi bukti untuk mengambil kesimpulan bahwa Dyah Lembu Tal adalah Laki-laki karena dihubungkan dengan garis darah laki-laki yang dianut di Jawa. prasasti Balawi bukanlah rujukan valid untuk membuktikan bahwa Lembu Tal adalah laki-laki. prasasti itu keluar demi legitimasi kekuasaan dan tentunya telah disesuaikan kepentingan, sama halnya misalnya Balitung membuat prasasti Mantyasih yang menyebut pangkal penguasaan tanah Jawa (tengah) pada sosok Sanjaya. itu juga demi legitimasi. kenapa Wijaya (jika menganut tafsir bahwa ia keturunan Sunda )tidak menyebut sama sekali bahwa ia keturunan Sunda, hal ini juga bisa dianalisa bahwa jelas ia tak mungkin menyebut ia putra rakryan jayadara dari Sunda padahal ia mendirikan kerajaan di Jawa Timur. Wijaya jelas ingin menunjukkan bahwa ia pewaris sah negeri Singosari yang telah runtuh. untuk itulah ia menyebut Arok sebagai pangkal garis darahnya. sangat riskan ia menyebutkan sesuatu yang "berbau" Sunda kala itu karena mungkin sekali beberapa bawahannya akan "mempertanyakan" kekuasaannya atas tanah jawa (bagian timur). hal ini bisa dicontohkan (jika menarik waktu jauh ke belakang lagi)pada kasus Airlangga, menantu Darmawangsa, yang ikut terkena dampak "pralaya". kala Airlangga selamat dan mendirikan kerajaan Kahuripan, ia juga menarik garis pangkal pada "trah" Darmawangsa yang masih keturunan Mpu Sendok itu (lihat pada nama abiseka Airlangga saat diangkat jadi raja "Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa"). Airlangga tidak mungkin akan menyebutkan bahwa ia putra dari wangsa Marwadewa dari Bali. Hal itu juga demi legitimasi kekuasaan. jadi penyebutan nama raja (pendahulu)sebagai pangkal dari kekuasaan seorang raja itu selalu disesuaikan dengan kepentingan, dimana sang raja itu mendirikan kerajaannya.

Jumat, 26 April 2013

Siapakah Haji pertama di tanah Jawa ?

Kapan pertama kali masuknya Islam ke Tatar Sunda? Sampai kini belum diketahui secara pasti, karena belum ditemukan bukti-bukti yang cukup kuat tentang hal itu. Namun, dari segi geografis dapat ditelusuri bahwa Tatar Sunda berada pada lintasan pelayaran niaga internasional pada kurun waktu abad ke-15 sampai abad ke-17 Masehi. Ditinjau dari letak geografis, boleh jadi pantai utara Tatar Sunda adalah daerah yang lebih dahulu mendapat sentuhan agama Islam daripada Jawa Tengah dan Jawa Timur serta wilayah Indonesia bagian timur lainnya.
Dari aspek geografis inilah dapat dipahami bahwa dalam tahap awal pembawa dan penyebar agama Islam di Nusantara pada masa-masa permulaan adalah golongan pedagang yang pada awalnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan sebagai pendorong utama untuk berkunjung ke kepulauan Nusantara. Hal itu bersamaan waktunya dengan masa perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional antara negeri-negeri di bagian Asia Barat Daya, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Kedatangan para pedagang muslim ke Nusantara dalam jaringan pelayaran internasional telah berlangsung sebelum zaman Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka –yang kemudian menjadi pusat kerajaan Islam yang mempunyai hubungan ekonomi perdagangan dengan daerah-daerah lain di Nusantara– memungkinkan tersebarnya ajaran Islam ke seluruh wilayah kepulauan Nusantara.

Di Tatar Sunda, seperti diceriterakan dalam naskah Carita Parahiyangan, bahwa seorang pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa putera kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora yang merupakan adik kandung dari Prabu Lianggabuana (buyut Prabu Siliwangi, jayadewata, pamanah rasa) yang gugur di perang bubat, Sang Bunisora  menjadi Raja penganti sementara kerajaan Galuh/Sunda, karena sang putra mahkota yang masih kecil uasia 9 tahun bernama wastukencana, kelak disamping memimpin kerajaan galuh/sunda ke dalam kemakmuran seperti prasasti galuh juga diberi usia panjang sampai 120 tahun. Wastukencana dididik oleh Bunisora dengan bermacam ilmu pemerintahan, agama bahkan Prabu Wastukencana ini sering menggembara menuntut ilmu sampai ke lampung, salah satu istrinyapun berasal dari lampung yg kelak menguasai kerajaan sunda/pakuan yaiitu susuk tunggal, Jadi hubungan Bratalegawa dan Wastukencana ini adalah saudara sepupu, berarti Bratalegawa adalah kakek sepupu dari Prabu Siliwangi, dimana Prabu Siliwnagi juga merupakakan kakek Sunan Gunung Jati, Bratalegawa memilih hidupnya sebagai saudagar besar; biasa berlayar ke Sumatera, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad.  Kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaannya, ia pun dikenal dengan sebutan Haji Purwa.
Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, menjadi pemeluk Islam. Namun, kakaknya pun menolak. Ketidakberhasilan tersebut tidak menyebabkan keretakan hubungan kekeluargaan, Haji Purwa tetap memberi bantuan untuk kelancaran pemerintahan saudara-saudaranya. Haji Purwa kemudian menetap di Cirebon (Caruban) Girang yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Galuh.
Bila kedatangan Haji Purwa di tanah Sunda dijadikan titik tolak masuknya agama Islam ke Tatar Sunda pada pertengahan abad ke-14, hal ini mengandung arti bahwa pertama, agama Islam yang pertama kali masuk ke Tatar Sunda berasal dari Makkah yang dibawa oleh Bratalegawa seorang pedagang, dan kedua, pada tahap awal kedatangannya, agama ini tidak hanya menyentuh daerah pesisir utara Jawa Barat, namun diperkenalkan juga di daerah pedalaman. Akan tetapi, agama itu tidak segera menyebar secara luas di masyarakat. Hal ini disebabkan tokoh penyebarnya belum banyak dan pengaruh sunda wiwitan dari Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Padjadjaran terhadap masyarakat setempat masih kuat.
Sementara itu di Karawang terdapat sebuah pesantren di bawah pimpinan Syekh Quro sebagai penyebar dan guru agama Islam pertama di daerah Karawang. Syekh Quro nama aslinya adalah Syekh Hasanuddin putra Syekh Yusuf Sidik, seorang ulama yang datang dari negeri Campa (daerah Vietnam sekarang). Ia datang di Pulau Jawa –sebagai utusan, pada abad ke-14 sezaman dengan kedatangan Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Nurjati yang kelak menikah dengan cucu Bratalegawa (haji Purwa) bernama Hadijah, menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit. Dalam pelayarannya itu, armada Cheng Ho tiba di Pura Karawang. Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan bertempat tinggal di sana. Di Karawang ia menikah dengan Ratna Sondari, puteri Ki Gedeng Karawang, dan membuka pesantren yang diberi nama pondok Quro yang khusus mengajarkan al-Qur’an, karena itulah Syekh Hasanuddin kemudian dikenal dengan nama Syekh Quro. Syekh Quro bermukim di Karawang sampai wafat dan dimakamkan di Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Wadas, Karawang.
Sumber lain yang menunjukkan datangnya Islam pertama kali di Jawa Barat adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon, 1720 (Lihat: Atja, 1986). Naskah ini antara lain menyebutkan adanya tokoh yang bernama Syekh Nurjati yang disebut pula Syekh Datuk Kahpi, Syekh Idofi, atau Syekh Nuruljati, seorang ulama yang berasal dari Arab (Persi), selain menikah dengan cucu Haji Purwa (Bratalegawa) juga merupakan guru dari anak anak Prabu Siliwangi yaitu Pangeran Cakrabuana dan Nyi Rara Santang (ibunda Sunan Gunung Jati). Jadi bisa disimpulkan Syekh Nurjati menyebarkan agama islam jauh sebelum era walisongo, sedangkan Bratalegawa yang juga kakek mertua Syekh Nurjati lebih jauh lagi (lebih dahulu) menjadi Haji sebelum kedatangan Syekh Nurjati, itulah sebabnya Bratalegawa mendapat gelar Haji Purwa atau Haji pertama dari tanah jawa. Syekh Nurjati datang sebagai utusan Raja Parsi bersama 12 orang pengikutnya sekitar abad ke-14, pada masa Ki Gedeng Jumajanjati. Atas izin dan kebaikan penguasa pelabuhan itu, Syekh Nurjati kemudian menetap dan bermukim di Pasambangan, di bukit Amparan Jati dekat Pelabuhan Muarajati, kurang lebih lima kilometer sebelah utara Kota Cirebon sekarang. Ia kemudian menjadi guru agama Islam dan mendirikan pesantren yang tumbuh menjadi sebuah pesantren yang cukup ramai. Pesantren di Muara Jati lebih berkembang lagi ketika datangnya Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, dari Mesir .
Dalam tahap awal, sebagaimana yang dilakukan Bratalegawa, penyebaran agama Islam rupanya baru berlangsung secara terbatas di lingkungan tempat tinggal para tokoh agama tersebut. Boleh jadi, kegiatan mereka dalam menyebarkan agama Islam pada tahap awal adalah mengenalkan agama Islam kepada sejumlah penduduk. Seiring dengan terbentuknya pesantren-pesantren sebagai tempat pembentukan kader ulama, yaitu para guru agama yang mendidik beberapa orang santri di pesantren atau paguron masing-masing, maka syiar Islam mulai berkembang pesat, cahaya Islam mulai tersebar di Tatar Sunda.

Minggu, 14 April 2013

Untold Story Long March Siliwangi

Akibat perjanjian Renville yang menyatakan bahwa wilayah Republik Indonesia hanya terdiri dari Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah dan sedikit Jawa Timur, maka Divisi Siliwangi yang berbasis gerilya di Jawa Barat harus pergi meninggalkan basis nya dan pergi ke daerah Republik mematuhi perintah Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi TRI. Berat hati para prajurit melakukan hal yang sulit ini, karena mereka harus disingkirkan dari kampung halaman nya bukan karena kalah berperang dengan Belanda tetapi oleh dikalahkan oleh para politisi yang kalah berunding dengan Belanda dalam kapal USS Renville. Bulan Februari 1948 dengan kereta api dan kapal laut (embarkasi Cirebon) mereka diangkut tanpa membawa senjata yang dikirimkan terpisah untuk menghindari bentrokan (kekhawatiran dari pihak Belanda) ke daerah Gombong (yang berkereta api) dan ke Rembang (yang memakai kapal laut) untuk selanjutnya di sebarkan ke daerah Solo, Yogyakarta dan Magelang dan ditetapkan sebagai pasukan cadangan. Tetapi ada pula sebagian yang pergi berjalan kaki menuju ke sana. Itulah yang dinamakan "Hijrah" yang konon istilah itu dipilih Bung Karno seperti kisah hijrah nya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah, "mengalah untuk menang" lebih kurang seperti itu lah!.

Tentara Siliwangi tidak disediakan asrama selayaknya tentara, tetapi ditempatkan di bekas pabri-pabrik gula yang banyak terdapat disana. Keadaan lingkungan yang berbeda dengan daerah asalnya , sedikit banyak berpengaruh pada sikap sehari-hari mereka, tetapi itu semua tidak dijadikan sebuah penghalang , karena sekali lagi kedatangan mereka adalah untuk mematuhi perintah para pemimpinnya untuk menegakan proklamasi kemerdekaan yang sedang diusik kembali oleh Belanda.

Pada bulan Juli 1948, saat itu terjadi kekisruhan politik yang disebabkan oleh jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin oleh PNI dan Masyumi untuk kemudian dibentuk lah kabinet Hatta. Amir Syarifuddin yang tidak puas kemudian menjadi oposisi dengan menggandeng tokoh komunis Muso yang baru kembali dari Rusia setelah kabur karena pemberontakan PKI tahun 1926. Mereka meleburkan Partai-partai berhaluan Komunis dan Sosialis seperti PKI, Pesindo, SOBSI dll kedalam Front Demokrasi Rakyat (FDR). Agitasi mereka ke berbagai golongan rakyat termasuk ke dalam militer sangat intens, padahal disisi lain pada jaman itu setiap partai politik memiliki laskar bersenjata masing-masing. Perang opini dan saling tuduh sebagai antek penjajah masing - masing dilontarkan oleh para politikus di surat kabar dan radio, antara golongan republiken dengan kaum komunis/sosialis. Saat itu di kota Solo , ada beberapa batalyon tentara dari Brigade Panembahan Senopati yang sudah masuk kedalam perangkap FDR, juga batalyon dari ALRI pimpinan Yadau . Muso cs yang memperhitungkan bahwa Siliwangi akan menjadi pengacau rencana mereka dalam mengadakan coup terhadap Soekarno melakukan hasutan bahwa Siliwangi disingkat SLW adalah akronim dari Stoot Leger Wilhelmina (Tentara Pemukul Wilhelmina /Ratu Belanda) sehingga bencilah rakyat setempat kepada Siliwangi. Memang kala itu hampir kebanyakan perwira dan prajurit dari Siliwangi fasih berbahasa Belanda , karena mereka memang terbiasa memakainya sewaktu di Jawa Barat, tetapi hal itu pun dijadikan sebagai alat fitnah yang menguatkan "gelar" sindiran tersebut. Bermula dari hilangnya 4 orang perwira Panembahan Senopati yang menuduh bahwa Siliwangi lah pelakunya yang membuat tentara dari Solo mulai melakukan manuver provokasi kepada Siliwangi, sesuai dengan rencana Komunis bahwa Solo akan dijadikan daerah yang kacau (Wild West), akhirnya terjadi juga bentrokan antara batalyon 1 Rukman dari Brigade Sadikin dengan pasukan lokal tanggal 24 Agustus 1948 di Tasikmadu Solo, kekuatan 4 batalyon dari pasukan lokal melawan 1 batalyon Siliwangi dengan hasil akhir 7 orang pihak penyerang tewas di tempat dan belasan luka-luka sedangkan batalyon Rukman aman tanpa jatuh korban. Mayor Slamet Riyadi sebagai komandan dari Brigade Panembahan Senopati memberikan ultimatum kepada Letkol Sadikin dari Siliwangi untuk segera menyerahkan perwira-perwiranya yang hilang itu, sadikin karena merasa tidak ada anak buahnya yang melakukan berkeras untuk tidak mematuhi ultimatum tersebut, sampai-sampai Panglima Besar Jenderal soedirman turun tangan mendamaikan dua anak bangsa yang sedang bertikai itu. Ketika kebuntuan perundingan terjadi, Panglima berkata, "Slamet Riyadi anak saya!' yang dijawab Letkol Sadikin; "Saya anak siapa?". Kebuntuan itu mengakibatkan keadaan memanas dengan terjadinya penyanderaan kendaraan Siliwangi di jalan-jalan kota Solo yang dibalas serupa oleh Siliwangi dengan penyanderaan dan penggeledahan samapai ke garasi-garasi terhadap kendaraan Senopati. Keadaan seperti itu diperparah dengan penyerbuan markas Staf Kwartier Brigade Sadikin oleh tentara Solo yang saat itu hanya dijaga 2 kompi pasukan pimpinan Kapten Oking. Letkol Sadikin meradang, kelakuan mereka harus dihentikan, seolah membangunkan singa yang tidur, selanjutnya berita kawat diberikan kepada brigade-brigade Siliwangi di Yogya dan Magelang untuk siap tempur. Langkah awal adalah menberikan tugas kepada kompi Lukas dan Oking masuk kota Solo secara gerilya melewati jalan-jalan kecil untuk melucuti pasukan Senopati yang terlihat. Dalam beberapa jam batalyon-batalyon Siliwangi telah mengepung dan menguasai Solo dari berbagai jurusan. Pasukan Panembahan Senopati lari tunggang langgang ke luar kota. Kejadian "tragis" terjadi pada diri Kapten Oking yang harus kehilangan tangan kanan nya akibat granat yang meledak persis di samping nya.

Keadaan ini memprihatinkan Petinggi militer di Yogyakarta, sehingga Jenderal Soedirman datang langsung ke rumah dinas Letkol Sadikin di Solo untuk menghentikan kisruh ini, jawaban tegas diberikan lagi oleh Sadikin, "kami diserang duluan, terserah pihak penyerang maunya seperti apa?" Jenderal Soedirman akhirnya memanggil Kolonel AH Nasution mantan Panglima Siliwangi yang saat itu telah menjadi wakil panglima besar Soedirman ke markasnya untuk mengeluarkan Siliwangi dari Solo, Nasution yang saat itu datang dengan Letkol Abimanyu, mengatakan, bahwa hal gampang mengeluarkan Siliwangi dari Solo, mereka tinggal ramai-ramai kembali ke Jawa Barat yang artinya itu melanggar renville yang pada akhirnya seakan memberi kesempatan untuk melakukan agresi nya dengan dalih ada pasukan republik yang melanggar garis demarkasi, Panglima akhirnya menuruti saran itu dan menyerukan perdamaian. Akhirnya diangkat Kolonel Gatot Subroto sebagai Panglima Komandemen daerah Solo untuk memulihkan keadaan.

Sebelum benar-benar pulih keadaan di Solo, tanggal 18 September 1948 Muso cs mengumumkan pemberontakan PKI di Madiun untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno-Hatta dan membentuk Pemerintahan Komunis Indonesia Sovyet. Panglima besar Soedirman yang kala itu jatuh sakit menyerahkan kepala operasi kepada Kolonel AH Nasution yang kemudian memerintahkan Siliwangi untuk memadamkan pemberontakan itu. Dibantu oleh beberapa batalyon dari dari Jawa Timur yang bergerak dari arah timur, pasukan Siliwangi dari Brigade Sadikin mulai bergerak melakukan pengejaran dari Solo menuju arah Madiun, Brigade Kusno Utomo dari arah selatan. Deadline untuk membereskan pemberontakan di berikan oleh Nasution selama 14 hari, tetapi hanya kurang dari seminggu daerah-daerah yang telah dikuasai Komunis dapat direbut kembali. Akhirnya Muso dapat ditembak mati dan pimpinan lainnya seperti Amir Syarifuddin dapat ditangkap untuk kemudian dihukum mati sesaat sebelum Yogya jatuh kepada Belanda dalam agresinya yang ke 2 , Desember 1948.

Dengan dalih yang dibuat-buat, Belanda melancarkan agresinya pada tanggal 19 Desember 1948 ke Yogyakarta dan menahan Soekarno-Hatta, Panglima besar Soedirman dan TRI memilih untuk bergerilya dan memerintahkan kepada Siliwangi untuk kembali ke kantong-kantong gerilya nya di Jawa Barat, sebuah keputusan yang di sambut suka cita sekaligus was-was karena terbayang sebuah perjalanan panjang yang akan banyak rintangannya, tetapi Maung-maung Siliwangi tidak pernah kenal takut dan menyerah baik itu melawan rintangan alam maupun hadangan agresor Belanda. Suatu penetrasi jarak jauh secara besar-besaran menuju daerah kekuasaan lawan dengan berjalan kaki secara gerilya melewati kampung-kampung, gunung, sungai dan lembah sejauh lebih kurang 700 km!

Pengorbanan yang besar dan tidak dapat di ukur dengan apapun juga saat ini, karena selain Belanda ternyata di Jawa Barat telah ada pasukan DI/TII pimpinan SM Kartosuwiryo yang ingin mendirikan negara Islam yang menghadang Siliwangi. Penyerangan , penjebakan sampai peracunan mereka lakukan karena DI/TII menganggap Siliwangi adalah pasukan liar yang harus ditindak. Melengkapi perjuangan mereka untuk tegak berdirinya RI adalah menghadapi rakyat yang sudah terhasut oleh agitasi DI/TII.

Siliwangi selalu berada di barisan depan pembela NKRI , terlepas dari anggapan bahwa Siliwangi selalu dijadikan alat oleh para pemimpin bangsa untuk melawan separator, tetapi tetap bahwa Maung-maung Siliwangi adalah satu dari bagian perjalanan sejarah bangsa ini dan disegani lawan-lawannya. SATU HILANG DUA TERBILANG!