Jumat, 26 April 2013

Siapakah Haji pertama di tanah Jawa ?

Kapan pertama kali masuknya Islam ke Tatar Sunda? Sampai kini belum diketahui secara pasti, karena belum ditemukan bukti-bukti yang cukup kuat tentang hal itu. Namun, dari segi geografis dapat ditelusuri bahwa Tatar Sunda berada pada lintasan pelayaran niaga internasional pada kurun waktu abad ke-15 sampai abad ke-17 Masehi. Ditinjau dari letak geografis, boleh jadi pantai utara Tatar Sunda adalah daerah yang lebih dahulu mendapat sentuhan agama Islam daripada Jawa Tengah dan Jawa Timur serta wilayah Indonesia bagian timur lainnya.
Dari aspek geografis inilah dapat dipahami bahwa dalam tahap awal pembawa dan penyebar agama Islam di Nusantara pada masa-masa permulaan adalah golongan pedagang yang pada awalnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan sebagai pendorong utama untuk berkunjung ke kepulauan Nusantara. Hal itu bersamaan waktunya dengan masa perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional antara negeri-negeri di bagian Asia Barat Daya, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Kedatangan para pedagang muslim ke Nusantara dalam jaringan pelayaran internasional telah berlangsung sebelum zaman Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka –yang kemudian menjadi pusat kerajaan Islam yang mempunyai hubungan ekonomi perdagangan dengan daerah-daerah lain di Nusantara– memungkinkan tersebarnya ajaran Islam ke seluruh wilayah kepulauan Nusantara.

Di Tatar Sunda, seperti diceriterakan dalam naskah Carita Parahiyangan, bahwa seorang pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa putera kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora yang merupakan adik kandung dari Prabu Lianggabuana (buyut Prabu Siliwangi, jayadewata, pamanah rasa) yang gugur di perang bubat, Sang Bunisora  menjadi Raja penganti sementara kerajaan Galuh/Sunda, karena sang putra mahkota yang masih kecil uasia 9 tahun bernama wastukencana, kelak disamping memimpin kerajaan galuh/sunda ke dalam kemakmuran seperti prasasti galuh juga diberi usia panjang sampai 120 tahun. Wastukencana dididik oleh Bunisora dengan bermacam ilmu pemerintahan, agama bahkan Prabu Wastukencana ini sering menggembara menuntut ilmu sampai ke lampung, salah satu istrinyapun berasal dari lampung yg kelak menguasai kerajaan sunda/pakuan yaiitu susuk tunggal, Jadi hubungan Bratalegawa dan Wastukencana ini adalah saudara sepupu, berarti Bratalegawa adalah kakek sepupu dari Prabu Siliwangi, dimana Prabu Siliwnagi juga merupakakan kakek Sunan Gunung Jati, Bratalegawa memilih hidupnya sebagai saudagar besar; biasa berlayar ke Sumatera, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad.  Kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaannya, ia pun dikenal dengan sebutan Haji Purwa.
Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, menjadi pemeluk Islam. Namun, kakaknya pun menolak. Ketidakberhasilan tersebut tidak menyebabkan keretakan hubungan kekeluargaan, Haji Purwa tetap memberi bantuan untuk kelancaran pemerintahan saudara-saudaranya. Haji Purwa kemudian menetap di Cirebon (Caruban) Girang yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Galuh.
Bila kedatangan Haji Purwa di tanah Sunda dijadikan titik tolak masuknya agama Islam ke Tatar Sunda pada pertengahan abad ke-14, hal ini mengandung arti bahwa pertama, agama Islam yang pertama kali masuk ke Tatar Sunda berasal dari Makkah yang dibawa oleh Bratalegawa seorang pedagang, dan kedua, pada tahap awal kedatangannya, agama ini tidak hanya menyentuh daerah pesisir utara Jawa Barat, namun diperkenalkan juga di daerah pedalaman. Akan tetapi, agama itu tidak segera menyebar secara luas di masyarakat. Hal ini disebabkan tokoh penyebarnya belum banyak dan pengaruh sunda wiwitan dari Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Padjadjaran terhadap masyarakat setempat masih kuat.
Sementara itu di Karawang terdapat sebuah pesantren di bawah pimpinan Syekh Quro sebagai penyebar dan guru agama Islam pertama di daerah Karawang. Syekh Quro nama aslinya adalah Syekh Hasanuddin putra Syekh Yusuf Sidik, seorang ulama yang datang dari negeri Campa (daerah Vietnam sekarang). Ia datang di Pulau Jawa –sebagai utusan, pada abad ke-14 sezaman dengan kedatangan Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Nurjati yang kelak menikah dengan cucu Bratalegawa (haji Purwa) bernama Hadijah, menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit. Dalam pelayarannya itu, armada Cheng Ho tiba di Pura Karawang. Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan bertempat tinggal di sana. Di Karawang ia menikah dengan Ratna Sondari, puteri Ki Gedeng Karawang, dan membuka pesantren yang diberi nama pondok Quro yang khusus mengajarkan al-Qur’an, karena itulah Syekh Hasanuddin kemudian dikenal dengan nama Syekh Quro. Syekh Quro bermukim di Karawang sampai wafat dan dimakamkan di Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Wadas, Karawang.
Sumber lain yang menunjukkan datangnya Islam pertama kali di Jawa Barat adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon, 1720 (Lihat: Atja, 1986). Naskah ini antara lain menyebutkan adanya tokoh yang bernama Syekh Nurjati yang disebut pula Syekh Datuk Kahpi, Syekh Idofi, atau Syekh Nuruljati, seorang ulama yang berasal dari Arab (Persi), selain menikah dengan cucu Haji Purwa (Bratalegawa) juga merupakan guru dari anak anak Prabu Siliwangi yaitu Pangeran Cakrabuana dan Nyi Rara Santang (ibunda Sunan Gunung Jati). Jadi bisa disimpulkan Syekh Nurjati menyebarkan agama islam jauh sebelum era walisongo, sedangkan Bratalegawa yang juga kakek mertua Syekh Nurjati lebih jauh lagi (lebih dahulu) menjadi Haji sebelum kedatangan Syekh Nurjati, itulah sebabnya Bratalegawa mendapat gelar Haji Purwa atau Haji pertama dari tanah jawa. Syekh Nurjati datang sebagai utusan Raja Parsi bersama 12 orang pengikutnya sekitar abad ke-14, pada masa Ki Gedeng Jumajanjati. Atas izin dan kebaikan penguasa pelabuhan itu, Syekh Nurjati kemudian menetap dan bermukim di Pasambangan, di bukit Amparan Jati dekat Pelabuhan Muarajati, kurang lebih lima kilometer sebelah utara Kota Cirebon sekarang. Ia kemudian menjadi guru agama Islam dan mendirikan pesantren yang tumbuh menjadi sebuah pesantren yang cukup ramai. Pesantren di Muara Jati lebih berkembang lagi ketika datangnya Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, dari Mesir .
Dalam tahap awal, sebagaimana yang dilakukan Bratalegawa, penyebaran agama Islam rupanya baru berlangsung secara terbatas di lingkungan tempat tinggal para tokoh agama tersebut. Boleh jadi, kegiatan mereka dalam menyebarkan agama Islam pada tahap awal adalah mengenalkan agama Islam kepada sejumlah penduduk. Seiring dengan terbentuknya pesantren-pesantren sebagai tempat pembentukan kader ulama, yaitu para guru agama yang mendidik beberapa orang santri di pesantren atau paguron masing-masing, maka syiar Islam mulai berkembang pesat, cahaya Islam mulai tersebar di Tatar Sunda.

Minggu, 14 April 2013

Untold Story Long March Siliwangi

Akibat perjanjian Renville yang menyatakan bahwa wilayah Republik Indonesia hanya terdiri dari Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah dan sedikit Jawa Timur, maka Divisi Siliwangi yang berbasis gerilya di Jawa Barat harus pergi meninggalkan basis nya dan pergi ke daerah Republik mematuhi perintah Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi TRI. Berat hati para prajurit melakukan hal yang sulit ini, karena mereka harus disingkirkan dari kampung halaman nya bukan karena kalah berperang dengan Belanda tetapi oleh dikalahkan oleh para politisi yang kalah berunding dengan Belanda dalam kapal USS Renville. Bulan Februari 1948 dengan kereta api dan kapal laut (embarkasi Cirebon) mereka diangkut tanpa membawa senjata yang dikirimkan terpisah untuk menghindari bentrokan (kekhawatiran dari pihak Belanda) ke daerah Gombong (yang berkereta api) dan ke Rembang (yang memakai kapal laut) untuk selanjutnya di sebarkan ke daerah Solo, Yogyakarta dan Magelang dan ditetapkan sebagai pasukan cadangan. Tetapi ada pula sebagian yang pergi berjalan kaki menuju ke sana. Itulah yang dinamakan "Hijrah" yang konon istilah itu dipilih Bung Karno seperti kisah hijrah nya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah, "mengalah untuk menang" lebih kurang seperti itu lah!.

Tentara Siliwangi tidak disediakan asrama selayaknya tentara, tetapi ditempatkan di bekas pabri-pabrik gula yang banyak terdapat disana. Keadaan lingkungan yang berbeda dengan daerah asalnya , sedikit banyak berpengaruh pada sikap sehari-hari mereka, tetapi itu semua tidak dijadikan sebuah penghalang , karena sekali lagi kedatangan mereka adalah untuk mematuhi perintah para pemimpinnya untuk menegakan proklamasi kemerdekaan yang sedang diusik kembali oleh Belanda.

Pada bulan Juli 1948, saat itu terjadi kekisruhan politik yang disebabkan oleh jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin oleh PNI dan Masyumi untuk kemudian dibentuk lah kabinet Hatta. Amir Syarifuddin yang tidak puas kemudian menjadi oposisi dengan menggandeng tokoh komunis Muso yang baru kembali dari Rusia setelah kabur karena pemberontakan PKI tahun 1926. Mereka meleburkan Partai-partai berhaluan Komunis dan Sosialis seperti PKI, Pesindo, SOBSI dll kedalam Front Demokrasi Rakyat (FDR). Agitasi mereka ke berbagai golongan rakyat termasuk ke dalam militer sangat intens, padahal disisi lain pada jaman itu setiap partai politik memiliki laskar bersenjata masing-masing. Perang opini dan saling tuduh sebagai antek penjajah masing - masing dilontarkan oleh para politikus di surat kabar dan radio, antara golongan republiken dengan kaum komunis/sosialis. Saat itu di kota Solo , ada beberapa batalyon tentara dari Brigade Panembahan Senopati yang sudah masuk kedalam perangkap FDR, juga batalyon dari ALRI pimpinan Yadau . Muso cs yang memperhitungkan bahwa Siliwangi akan menjadi pengacau rencana mereka dalam mengadakan coup terhadap Soekarno melakukan hasutan bahwa Siliwangi disingkat SLW adalah akronim dari Stoot Leger Wilhelmina (Tentara Pemukul Wilhelmina /Ratu Belanda) sehingga bencilah rakyat setempat kepada Siliwangi. Memang kala itu hampir kebanyakan perwira dan prajurit dari Siliwangi fasih berbahasa Belanda , karena mereka memang terbiasa memakainya sewaktu di Jawa Barat, tetapi hal itu pun dijadikan sebagai alat fitnah yang menguatkan "gelar" sindiran tersebut. Bermula dari hilangnya 4 orang perwira Panembahan Senopati yang menuduh bahwa Siliwangi lah pelakunya yang membuat tentara dari Solo mulai melakukan manuver provokasi kepada Siliwangi, sesuai dengan rencana Komunis bahwa Solo akan dijadikan daerah yang kacau (Wild West), akhirnya terjadi juga bentrokan antara batalyon 1 Rukman dari Brigade Sadikin dengan pasukan lokal tanggal 24 Agustus 1948 di Tasikmadu Solo, kekuatan 4 batalyon dari pasukan lokal melawan 1 batalyon Siliwangi dengan hasil akhir 7 orang pihak penyerang tewas di tempat dan belasan luka-luka sedangkan batalyon Rukman aman tanpa jatuh korban. Mayor Slamet Riyadi sebagai komandan dari Brigade Panembahan Senopati memberikan ultimatum kepada Letkol Sadikin dari Siliwangi untuk segera menyerahkan perwira-perwiranya yang hilang itu, sadikin karena merasa tidak ada anak buahnya yang melakukan berkeras untuk tidak mematuhi ultimatum tersebut, sampai-sampai Panglima Besar Jenderal soedirman turun tangan mendamaikan dua anak bangsa yang sedang bertikai itu. Ketika kebuntuan perundingan terjadi, Panglima berkata, "Slamet Riyadi anak saya!' yang dijawab Letkol Sadikin; "Saya anak siapa?". Kebuntuan itu mengakibatkan keadaan memanas dengan terjadinya penyanderaan kendaraan Siliwangi di jalan-jalan kota Solo yang dibalas serupa oleh Siliwangi dengan penyanderaan dan penggeledahan samapai ke garasi-garasi terhadap kendaraan Senopati. Keadaan seperti itu diperparah dengan penyerbuan markas Staf Kwartier Brigade Sadikin oleh tentara Solo yang saat itu hanya dijaga 2 kompi pasukan pimpinan Kapten Oking. Letkol Sadikin meradang, kelakuan mereka harus dihentikan, seolah membangunkan singa yang tidur, selanjutnya berita kawat diberikan kepada brigade-brigade Siliwangi di Yogya dan Magelang untuk siap tempur. Langkah awal adalah menberikan tugas kepada kompi Lukas dan Oking masuk kota Solo secara gerilya melewati jalan-jalan kecil untuk melucuti pasukan Senopati yang terlihat. Dalam beberapa jam batalyon-batalyon Siliwangi telah mengepung dan menguasai Solo dari berbagai jurusan. Pasukan Panembahan Senopati lari tunggang langgang ke luar kota. Kejadian "tragis" terjadi pada diri Kapten Oking yang harus kehilangan tangan kanan nya akibat granat yang meledak persis di samping nya.

Keadaan ini memprihatinkan Petinggi militer di Yogyakarta, sehingga Jenderal Soedirman datang langsung ke rumah dinas Letkol Sadikin di Solo untuk menghentikan kisruh ini, jawaban tegas diberikan lagi oleh Sadikin, "kami diserang duluan, terserah pihak penyerang maunya seperti apa?" Jenderal Soedirman akhirnya memanggil Kolonel AH Nasution mantan Panglima Siliwangi yang saat itu telah menjadi wakil panglima besar Soedirman ke markasnya untuk mengeluarkan Siliwangi dari Solo, Nasution yang saat itu datang dengan Letkol Abimanyu, mengatakan, bahwa hal gampang mengeluarkan Siliwangi dari Solo, mereka tinggal ramai-ramai kembali ke Jawa Barat yang artinya itu melanggar renville yang pada akhirnya seakan memberi kesempatan untuk melakukan agresi nya dengan dalih ada pasukan republik yang melanggar garis demarkasi, Panglima akhirnya menuruti saran itu dan menyerukan perdamaian. Akhirnya diangkat Kolonel Gatot Subroto sebagai Panglima Komandemen daerah Solo untuk memulihkan keadaan.

Sebelum benar-benar pulih keadaan di Solo, tanggal 18 September 1948 Muso cs mengumumkan pemberontakan PKI di Madiun untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno-Hatta dan membentuk Pemerintahan Komunis Indonesia Sovyet. Panglima besar Soedirman yang kala itu jatuh sakit menyerahkan kepala operasi kepada Kolonel AH Nasution yang kemudian memerintahkan Siliwangi untuk memadamkan pemberontakan itu. Dibantu oleh beberapa batalyon dari dari Jawa Timur yang bergerak dari arah timur, pasukan Siliwangi dari Brigade Sadikin mulai bergerak melakukan pengejaran dari Solo menuju arah Madiun, Brigade Kusno Utomo dari arah selatan. Deadline untuk membereskan pemberontakan di berikan oleh Nasution selama 14 hari, tetapi hanya kurang dari seminggu daerah-daerah yang telah dikuasai Komunis dapat direbut kembali. Akhirnya Muso dapat ditembak mati dan pimpinan lainnya seperti Amir Syarifuddin dapat ditangkap untuk kemudian dihukum mati sesaat sebelum Yogya jatuh kepada Belanda dalam agresinya yang ke 2 , Desember 1948.

Dengan dalih yang dibuat-buat, Belanda melancarkan agresinya pada tanggal 19 Desember 1948 ke Yogyakarta dan menahan Soekarno-Hatta, Panglima besar Soedirman dan TRI memilih untuk bergerilya dan memerintahkan kepada Siliwangi untuk kembali ke kantong-kantong gerilya nya di Jawa Barat, sebuah keputusan yang di sambut suka cita sekaligus was-was karena terbayang sebuah perjalanan panjang yang akan banyak rintangannya, tetapi Maung-maung Siliwangi tidak pernah kenal takut dan menyerah baik itu melawan rintangan alam maupun hadangan agresor Belanda. Suatu penetrasi jarak jauh secara besar-besaran menuju daerah kekuasaan lawan dengan berjalan kaki secara gerilya melewati kampung-kampung, gunung, sungai dan lembah sejauh lebih kurang 700 km!

Pengorbanan yang besar dan tidak dapat di ukur dengan apapun juga saat ini, karena selain Belanda ternyata di Jawa Barat telah ada pasukan DI/TII pimpinan SM Kartosuwiryo yang ingin mendirikan negara Islam yang menghadang Siliwangi. Penyerangan , penjebakan sampai peracunan mereka lakukan karena DI/TII menganggap Siliwangi adalah pasukan liar yang harus ditindak. Melengkapi perjuangan mereka untuk tegak berdirinya RI adalah menghadapi rakyat yang sudah terhasut oleh agitasi DI/TII.

Siliwangi selalu berada di barisan depan pembela NKRI , terlepas dari anggapan bahwa Siliwangi selalu dijadikan alat oleh para pemimpin bangsa untuk melawan separator, tetapi tetap bahwa Maung-maung Siliwangi adalah satu dari bagian perjalanan sejarah bangsa ini dan disegani lawan-lawannya. SATU HILANG DUA TERBILANG!