Rabu, 25 Februari 2015

Manakib Ama Muhammad Satrip, Cipeucang, Banten

The Great of Grand Master, gelar itulah yang paling cocok diberikan kepada Ama Muhammad Satrip, Cipeucang, Banten. Karena dari tangan beliau telah banyak lahir bukan hanya pelatih, tetapi para ketua pelatih, PS menyebar dari bumi banten, jakarta, bekasi, bogor, sukabumi, cianjur, bandung, lampung, dan beberapa daerah lainnya. Anggota-nya pun mencapai ribuan, sebut saja di daerah bogor saja, anggota PS dari cilendek sampai parung, gunung batu, ciampea, leuwi liang, jumlahnya mencapai ribuan pada tahun 1960-an.
 Ama Satrip, begitulah nama panggilannya yang terkenal, beliau dilahirkan dari ibu Hj Rasmi dan ayahnya Haji Saram, mengenal PS sekitar tahun 1930-an dari pendiri PS 1922, tidak lama setelah mempelajari ajaran PS, beliau sudah dipercaya menjadi seorang pelatih, tidak lama berselang beliau-pun dipercaya menjadi ketua pelatih, murid muridnya bukan hanya sekitar cipeucang, banten, tetapi mencapai ujung kulon, dan daerah banten lainnya. Ada kemungkinan Ama Satrip berkenalan dengan pendiri PS, saat beliau berttugas sebagai guru sekolah di ujung kulon, seperti diketahui pendiri PS pernah melakukan perjalanan dan tinggal lama di ujung kulon, sampai saat ini-pun peninggalan perjalanan pendiri PS masih ada. Salah satu kenangan yang tersimpan di dalam hati ibu Satrip (almahurmah) adalah ketika  pemerintahan jepang (tahun 1942-1945), ibu Satrip, Ama Satrip, Pendiri PS dan beberapa rombongan lainnya melakukan perjalanan ke ujung kulon, diantaranya ada seorang jepang  yang telah mengikuti ajaran PS bernama Kurokawa. Tidak diketahui dari kapan warga negara jepang ini mengikuti Pendiri PS, tapi yang pasti Kurokawa ini seorang yang patuh kepada Pendiri PS. Perjalanan bukan hanya via darat tetapi melalui laut yang ombaknya terkenal, begitu yang diucapkan Ibu Satrip (almarhumah).
 Perjalanan berikutnya yang diikuti oleh Ibu Satrip ke ujung kulon, ketika tahun 1960-an, saat itu Ama Satrip, Pendiri PS,  Brigjen R Darsono, dan rombongan lainnya, naik kapal motor dari Labuan, setelah sampai di ujung kulon, Pendiri PS diberikan tunggangan kuda oleh warga PS, tetapi beliau menolak, dan mempersilahkan Brigjen Darsono, untuk menaiki kuda itu, akhirnya Pendiri PS berjalan kaki mendampingi Brigjen Darsono ke lokasi tinggal warga PS di sekitar Taman Jaya, Ujung Kulon.
 Ama Satrip, mengawali kariernya sebagai seorang guru sekolah, berbagai tempat telah dilakoninya saat sebelum kemerdekaan, diantaranya ujung kulon, dan daerah banten lainnya. Beliau juga  pernah tinggal di Paseban, Jakarta Pusat, pernah juga aktif di  PNI bersama Ir Soekarno, saat merintis kemerdekaan. Setelah merdeka, beliau kembali ke banten, menjalankan profesinya sebagai guru. Jabatan terakhir yang disandangnya adalah “Penilik Sekolah”, suatu jabatan yang sangat tinggi, apalagi pada saat itu, beliau wafat sekitar tahun 1966 di Cipeucang, Banten, dan sampai saat ini pun nama beliau sangat dikenal oleh masyarakat sebagai “Bapak Penilik”, Ama Satrip dimakamkan di  atas bukit di desa Kadu Ketug, Cipeucang, Banten. Adapun jarak makam dengan rumah Ama Satrip sekitar 3 KM, dengan kondisi menanjak, saat itu kondisi jalan tidak terlalu bagus,  masih beralas tanah, bisa dibayangkan bagaimana beratnya medan ke lokasi pemakaman, tetapi Tuhan YME berkehendak lain, pada saat Ama Satrip wafat, banyak sekali yang datang, saksi mata menyebutkan seperti lautan manusia yang tidak terhingga, untuk menghantarkan ke pemakaman, sampai akhirnya keranda Ama Satrip tidak digotong ke atas bukit, tetapi hanya digeser secara estafet dari tangan ke tangan, hingga keranda itu sampai di lokasi pemakaman kadu ketug yang jaraknya kurang lebih 3 KM dari rumah, SUBHANNALAH......
 Adalah adik Ama Satrip yang juga berperan dalam menyebarkan PS di tanah banten, yaitu Ama Haji  Muhammad Sapik, beliau dikenal juga sebagai jaro, lurah. Karena profesi beliau sebagai lurah saat itu, tidak diketahui banyak cerita tentang Ama Muhammad Sapik, karena beliau wafat lebih dahulu, Ama Haji Muhammmad Sapik, dimakamkan bersebelahan dengan Ama Muhammad Satrip, di Kadu Ketug, Cipeucang, Banten.
 Pengalaman Bapak H Abbas Heriz (alm), ketika beliau masih muda sekitar tahun 1960-an, saat itu terjadi banyak pemberontakan seperti DI/TII, PRRI, PERMESTA, dll. Aparat pemerintah melakukan penjagaan ketat di setiap di tempat tempat fasilitas umum, seperti terminal, pelabuhan, dan lain lain, dengan memeriksa/merazia berbagai senjata tajam/api. Bapak Abbas Heriz yang saat itu menginap di rumah Ama Satrip, di Cipeucang, Banten, hendak melakukan perjalanan ke Lampung menemui Pendiri PS, bersama Ama Satrip, Ama Hasan. Bapak Abbas Heriz yang waktu itu masih muda diserahi tugas membawa tas/ransel yang berisi keris, golok, tombak, dan berbagai benda pusaka lainnya. Ketika sampai di pelabuhan merak beliau sempat ragu karena adanya penjagaan ketat dari aparat, semua tas yang melewati diperiksa yang kedapatan membawa senjata tajam, api dikenakan langsung ditangkap. Ketika itu Pa Abbas yang berdiri di belakang Ama Satrip, sementara Ama Hasan Basri di belakang Pa Abbas (Pa Abbas diapit oleh Ama Satrip dan Ama Hasan), sempat diam (ngarandeg, bahasa sunda), karena ragu, akhirnya di belakang Ama Hasan Basri menepuk pundak Pa Abbas Heriz, dengan berkata “lajengken juragan” (teruskan juragan), kejadian aneh-pun muncul saat itu tas yang berisi keris, golok, tombak, yang terlihat menonjol keluar sama sekali tidak diperiksa, kaget bercampur haru Pa Abbas saat itu, akhirnya tas/ransel yang berisi golok, tombak, keris sama sekali tidak diperiksa aparat, hal yang samapun terjadi ketika tiba di pelabuhan lampung. Salah satu ucapan yang terkenal dari Ama Satrip adalah "Hirup Katungkul Ku Upah, Paeh Teu Nyaho Diwayah", artinya manusia dalam setiap langkahnya selalu mengharapkan imbalan/upah, untuk pekerjaan yang berbau ekonomi/usaha memang wajar, seperti dagang, bekerja, dll, tetapi untuk ibadah harus dilakukan secara iklas, sodaqoh jika dilakukan mengharap upah/imbalan pujian tidak baik, solat berharap mendapat upah agar disebut soleh tidak baik, dst, padahal manusia setiap saat diintai oleh maut, artinya kematian akan datang kapan saja tanpa mengenal waktu. Bayangkan jika pada saat ajal menjelang, amal yang dilakukan penuh harapan ingin diberi upah pujian apa jadinya ?
Ama Muhammad Satrip, Tjipeucang, Banten, 1962

Salah satu cucunya adalah Laksmana TNI Ir. Eden Gunawan, yang menjabat kepala BIN di Maluku, Laskmana TNI Ir Eden Gunawan adalah anak dari Drs Husein Sastra (alm dosen IKIP Bandung, Unpak Bogor) , salah satu tokoh yang ikut mendirikan organisasi PS di Bandung, berdasarkan akta notaris Koswara.

Silsilah Raja Raja Tatar Sunda

Silsilah Leluhur Prabu Siliwangi

Silsilah Raja Raja Pajajaran

Silsilah Raja Sumedang Larang

Silsilah Pangeran Santri

Hubungan Pangeran Santri & Ratu Pucuk Umum

Silsilah Raja Raja Talaga

Silsilah Raja Raja Banten

Selasa, 17 Februari 2015

Siapakah Prabu Mundisari, Rd Ranggamantri, Parunggangsa, Pucuk Umum ?


Sebelum membahas topik di atas, ada sumber sejarah tanah pasundan yaitu naskah Bujangga Manik yang tersimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris. Bujangga Manik adalah seorang rohaniawan yang melakukan perjalanan rohani/spiritual/ziarah ke tempat tempat sakral/keramat /kabuyutan di tanah jawa dan bali, beliau hidup di penghujung masa kerajaan Pajajaran, dan Majapahit, artinya pada saat itu kedua kerajaan ini masih berdiri, hal itu dibuktikan dengan tempat tempat yang dikunjungi menunjukkan eksistensi kedua kerajaan itu. Kerajaan Majapahit runtuh tahun 1400 Saka atau tahun 1478 Masehi, sedangkan Pajajaran runtuh tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 Mei 1579 M. Artinya Bujangga Manik melakukan perjalanan sebelum tahun 1478 M, tidak diketahui pasti tahun berapa perjalanan itu dilakukan, perkiraan 5 atau 10 tahun sebelum majapahit runtuh sekitar 1470-an.

Naskah Bujangga Manik berbentuk puisi-prosa yang terdiri atas 1641 baris, diperkirakan ditulis pada abad ke-15. Naskah Bujangga Manik ditemukan oleh Andrew James, seorang pedagang asal Newport. Naskah ini lalu diserahkan kepada Perpustakaan Bodleian, Oxford pada 1627 oleh saudagar tersebut. Baru tahun 1968 (341 tahun semenjak diterima oleh perpustakaan di Oxford), naskah ini diteliti oleh seorang peminat naskah kuno dari Belanda, yakni Jacobus Noorduyn. Noorduyn-lah yang kemudian selama berpuluh-puluh tahun meneliti naskah ini, yang kemudian dibuatlah artikel berjudul Bujangga Manik Journeys through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source? Akan tetapi, Noorduyn wafat sebelum sempat mengumumkan penelitiannya yang menyeluruh atas naskah Bujangga Manik ini. pekerjaannya yang terputus ini lalu diteruskan oleh seorang sahabatnya yang juga peminat budaya dan sastra Indonesia yang juga berkebangsaan Belanda, bernama A. Teeuw. Teeuw melengkapi kajian-kajian Noorduyn atas naskah Bujangga Manik (termasuk dua naskah lainnya: Putra-purta Rama dan Rawana dan Perjalanan Sri Ajnyana). Dari sini lahirlah buku berjudul Three Old Sundanese Poem (2006) yang diterjemahkan oleh Hawe Setiawan dengan judul Tiga Pesona Sunda Kuna (2008). Noorduyn dan A. Teeuw memperkirakan bahwa kisah perjalanan Bujangga Manik berlangsung mungkin juga disusun pada masa Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran masih eksis dan ketika Kesultanan Malaka masih menguasai jalur perniagaan Nusantara, sebelum jatuh ke tangan Portugis pada 1511, di mana Malaka telah menguasai jalur perniagaan sejak 1440.

Naskah Bujangga Manik menceritakan seorang petapa, rohaniawan yang memilih hidup sebagai petualang untuk memuaskan batin spiritualnya, padahal ia merupakan seorang tohaan (pangeran) istana Pakuan. Tokoh utamanya bernama Bujangga Manik, dan di beberapa halaman berubah menjadi Ameng Layaran. Ada sekitar 450 nama tempat yang ia singgahi, termasuk di antaranya 90 nama gunung dan 50 nama sungai terbentang dari Sunda bagian barat (Pakuan) sampai Pulau Bali dimana sebagian nama-nama geografis tersebut masih dikenal hingga kini. Selain berfungsi sastrawi yang indah, Bujangga Manik bisa dikatakan sebagai ensiklopedi geografi Jawa?di mana tedapat ulasan berbagai segi kehidupan, baik dari budaya, agama, geografi, bahasa, arsitektur. Menurut A. Teeuw, kritikus sastra asal Belanda tersebut, naskah Bujangga Manik, sama seperti naskah-naskah Sunda kuno lainnya, bersifat otentik, tidak disalin, dan hanya satu-satunya di dunia (codex uniqus). Sayang, hingga kini naskah ini masih tersimpan di perpustakaan di Inggris.

Dalam naskah Bujangga Manik tertulis :

Sacu(n)duk aing ka Wakul,

sadatang ka Pacelengan,

ngalalar aing ka Bubat,

cu(n)duk aing ka Mangu(n)tur,

ka buruan Majapahit,

ngalalar ka Dar/ma Anyar, /15r/

na Karang Kajramanaan,

ti kidulna Karang Jaka.

(Setiba di Wakul,

sampai di Pacelengan,

aku berjalan melewati Bubat,

dan tiba di Maguntur,

alun-alun Majapahit,

pergi melewati Darma Anyar,

dan Karang Kajramanaan,

sebelah selatan Karang Jaka.)



Bait di atas menunjukkan beberapa nama tempat di Majapahit, diantaranya Maguntur, Bubat, dan alun alun Majapahit, artinya pada saat itu kerajaan Majapahit masih eksis keberadaannya. Kemudian mohon perhatikan bait lain dari Naskah Bujangga Manik :

Ku ngaing geus kaideran,

lurah-lirih Majapahit,

palataran alas Demak.

Sanepi ka Jati Sari,

datang aing ka Pamalang.

(Aku berkelana

melewati wilayah-wilayah berbeda di Majapahit,

dan daerah dataran Demak.

Setiba di Jati Sari,

aku datang ke Pamalang.)

bait di atas menunjukkan daerah Demak, sebelumnya Demak dikenal dengan nama desa Glagahwangi, setelah Raden Fatah membangun pesantren dan mesjid, menjadi daerah yang banyak dikunjungi dan berubah menjadi Demak, artinya Bujangga Manik pada saat berkunjung ke jawa tengah saat itu Majapahit masih berdiri dan kerajaan Demak sudah dikenal tetapi masih merupakan perdikan kerajaan Majapahit.

Kemudian mohon perhatikan bait dari naskah Bujangga Manik berikutnya :

Itu ta bukit Caremay,

tanggeran na Pada Beunghar,

ti kidul alas Kuningan,

ti barat na Walangg Suji,

inya na lurah Talaga.

(Itu Gunung Ceremay,

pertanda/pilarnya Pada Beunghar,

di selatan wilayah Kuningan,

ke baratnya Walang Suji,

di situlah wilayah Talaga.)

alas di atas bermakna wilayah, sedangkan lurah berarti lembah/jurang yang dangkal, artinya membandingkan 2 daerah antara alas dan lurah., berarti Walungsuji sebagai ibukota dari wilayahnya adalah Talaga. Ini adalah sebagai bukti keberadaan kerajaan Talaga di wilayah Majalengka.

Dalam sejarah sumedang ditulis bahwa raja sumedang larang, Prabu Tajimalela berputra Prabu Gajah Agung berputra Istri Rajamantri menikah dengan Prabu Siliwangi/Pamanah Rasa/Jayadewata, sedangkan anak Prabu Gajah Agung yang lain yaitu sunan guling dan keturunannya kelak melanjutkan kerajaan sumedang larang, yang menikah dengan pangeran santri.

Dari pernikahan Prabu Siliwangi dengan Istri Rajamantri melahirkan seorang putra bernama Prabu Munding Sari Ageung/Munding Surya/ Mundilaya. Prabu Munding Sari Ageung kelak menikah dengan Ratu Mayang Karuna anak dari Resi Garasiang yang seharusnya menjadi raja Talaga tetapi karena lebih tertarik dengan kerohanian/agama beliau memberikan tahta raja kepada adiknya yaitu Prabu Darma Suci 2.

Menurut sejarawan Tatang M. Amirin kelahiran Maja Kaler, Majalengka, sekarang dosen tetap di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Prabu Munding Surya (Sari) Ageung, setelah menikah dengan Dewi Mayang Karuna, diberi kekuasan wilayah Kerajaan Maja, mencakup Garasiang (ini terletak di utara Talaga). Jadi, dapat dikatakan bahwa Prabu Munding Surya (Sari) Ageung dapat diduga merupakan raja pertama Kerajaan Maja (tahunnya belum bisa dipastikan). Ketika membicarakan daerah Maja (salah satu kecamatan di Kabupaten Majalengka sekarang) yang akan, atau pernah diketahui, dari lacakan Kerajaan Talaga, hanya ada dua. Pertama: dulu merupakan kadaleman di bawah Kerajaan Talaga yang dipimpin oleh Dalem Lumaju Agung dan para penerusnya. Kadaleman adalah bagian dari erajaan Talaga(sebenarnya sudah tidak ada) yang dipimpin oleh para putra Raja. Kedua, Maja merupakan cikal bakal Kabupaten Majalengka (5 Januari 1819 Kabupaten Maja berdiri) dan sekaligus otanyamenjadi ibu kota Kabupaten (suka salah dianggap ibu kotanya di Sindangkasihihat peta Kabupaten Maja). Tidak pernah ada yang mengiraetidaknya tidak pernah disebut dalam abad Talaga–bahwa Maja itu dahulunya merupakan sebuah Kerajaan (di bawah Galuh-Pajajaran) juga, seperti halnya Talaga. Hanya sedikit literatur yang menulis tentang Prabu Munding Sari Ageung, ada juga yang mengkaitkan dengan kisah Mundilaya Dikusumah.

Dari perkawinannya dengan Dewi Mayangkaruna itu itu Prabu Munding Surya (Sari) Ageung memperoleh putra, Raden Rangga Mantri kemudian diberi wilayah untuk dipimpin dengan gelar atau julukan Raden Parung Gangsa. Parung gangsa dapat diartikan sebagai lembah perunggu bahan pembuat gamelan. Daerah di sekitar Maja yang bernuansa arung gangsaitu diduga Anggrawati (anggara = Selasa, sesajinyaperunggu atau kuningan, wati atau vati = tempat). Raden Rangga Mantri kemudian menikah dengan Dewi Wulansari atau Dewi Sunyalarang yang kemudian menjadi raja dengan gelar atau Ratu Parung, Ratu Kerajaan Talaga yang meneruskan tahta ayahnya Sunan Parung. Oleh karena perkawinan tersebut, maka Kerajaan Maja digabungkan dengan Kerajaan Talaga.

Kontradiksi

Versi Cirebon,

Sekitar tahun 1525-1529 di Cirebon ada pesta besar, dalam pesta itu itu ada arak arakan/karnaval yang melibatkan pasukan Cirebon dan Demak, pawai, arak arakan itu tidak terasa sudah jauh melewati Cirebon dan mulai memasuki wilayah Talaga, di depan arak arakan itu terdiri dari pasukan Demak, sedangkan Cirebon di belakang, ketika memasuki wilayah Talaga, pasukan Demak itu ditanya oleh pasukan Talaga dalam bahasa sunda ada apa maksud kedatangannya ke Talaga dalam pasukan besar, karena tidak mengerti terjadilah salah paham sehingga terjadi peperangan besar, pasukan Cirebon/Demak yang dalam jumlah besar dan persenjataan lengkap berhasil mendesak pasukan Talaga, kemudia para prajurit Talaga itu melaporkan kejadian ini kepada senapati dan putra mahkota Aria Kikis (Wanaperi) yang merupakan putra Raden Ranggamantri/ParungGangsa/Pucuk Umum dengan Ratu Parung. Senapati Aria Kikis mengamuk dan banyak mengorbankan prajurit Cirebon, prajurit Talaga bangkit moral-nya, membantu Senapati Aria Kikis, berhasil mendesak mundur pasukan Cirebon keluar wilayah Talaga.

Pasukan Cirebon melaporkan kepada Sunan Gunungjati/Syekh Syarief Hidayatullah, beliau datang menemui Senapati Aria Kikis berikut pasukannya, seketika itu Aria Kikis takluk dengan pasukannya , serta menyatakan masuk Islam, sedangkan ayahnya Prabu Pucuk Umum menolak, melarikan diri ke gunung Ciremai.

Versi Talaga,

Peperangan itu terjadi akibat pasukan Demak dan Cirebon meminta pajak yang sangat besar kepada rakyat Talaga, merasa ditindas rakyat melapor kepada Senapati Aria Kikis, kemudian Senapati Aria Kikis melakukan penelusuran ke bawah apakah benar laporan ini, setelah fakta yang dikumpulkan lengkap Senapati Aria Kikis mengajukan protes kepada Cirebon, pihak cirebon tidak menerima, akhirnya terjadilah perang, Senapati Aria Kikis mengobarkan perang suci, Talaga yang jumlah pasukan dan perlatan perangnya lebih bisa mengusir keluar pasukan Cirebon keluar dari Talaga, tidak terhitung korban di pihak Cirebon, Sunan Gunung Jati mendengar konflik ini dan mendatangi Senapati Aria Kikis di Talaga. Senapati Aria Kikis meminta maaf kepada Kanjeng Sunan Gunung Jati atas kesalahan ini, dan Sunan gunung Jati-pun saat itu berfatwa bahwa peperangan ini sudah menjadi kehendak Allah, dan bukan perang agama, ini akibat salah paham saja. Konsekwensinya terjadi kesepakatan Perjanjian Keraton Ciburang, salah satunya adalah Senapati Aria Kikis harus mundur sebagai raja Talaga, dan harus mengasingkan diri (berkhalwat) ke hutan, kelak kemudian hari beliau dikenal dengan nama Adipati Wanaperih (Wana=hutan, perih=sakit, prihatin), artinya senapati yang melakoni hidup prihatin di hutan. Deklarasi Kesepakatan Keraton Ciburang ini, terjadi sekitar tahun 1550 M, artinya saat itu Raden Rangga Mantri/Pucuk Umum sudah tidak menjabat sebagai raja lagi (meninggal), mulai saat itu kerajaan Talaga di bawah pengawasan Cirebon.

Pembahasan

Dalam sejarah versi Cirebon ada beberapa hal yang tidak sesuai fakta, diantaranya pada tahun 1525-1530 M, raja Talaga yaitu Raden Ranggamantri/Pucuk Umum menolak masuk islam dan melarikan diri ke gunung Ciremai, padahal faktanya beliau beserta istrinya Ratu Parung/Sunyalarang sudah masuk Islam, hal ini dibuktikan dengan keberadaan makam beliau di dekat situ Sangiang kecamatan Talaga, Majalengka menjadi tempat penziarahan umat Islam, mustahil jika beliau belum menjadi seorang muslim. Bahkan gelar Pucuk Umum itu diberikan oleh sinuhun Kanjeng Sunan Gunung Jati, saat beliau masuk islam tahun 1525-1530 M, Pucuk Umum (Makmun menyebut tadinya Pucuk Umun–bahasa Sunda kuno, diganti jadi Pucuk Umum, karena umum artinya seluruh umat Islam. Ini salah etimologi, karena ummat (bahasa Arab, tunggal) jamaknya (plural) bukan umum tapi umam, artinya beliau menjadi pimpinan atau imam di Talaga. Masuk islamnya Raden Rangga Mantri, kemungkinan besar disebabkan karena mereka adalah sama sama cucu dari Prabu Siliwangi, Sunan Gunung Jati cucu Prabu Siliwangi dari dari Subang Larang, sedangkan Raden Rangga Mantri adalah cucu Prabu Siliwangi dari Prabu Munding Sari Ageung/Mundinglaya

         Pintu Gerbang Makam Sunan Parunggangsa/Ranggamantri/Pucuk Umum


                                     Pintu masuk ke makam Rd Parunggangsa/Rd Ranggamantri


Makam Sunan Parung Gangsa/Rangga Mantri/Pucuk Umum



Tentang Pucuk Umum

Banyak cerita menyebutkan bahwa Prabu Pucuk Umum adalah raja yang menolak masuk Islam, ada yang menyebut melarikan diri ke gunung ciremai, ada yang menyebut raja Talaga itu melarikan diri ke Banten, karena tidak mau masuk islam, dan ada yang menyebut juga menolak agama islam di Banten, serta melarikan diri ke Baduy.

Pucuk Umum merupakan gelar/pangkat yang diberikan kepada penguasa di tatar sunda, ada beberapa daerah yang mempunyai nama ini, diantaranya :

  1. Pucuk Umum di Talaga, adalah anak dari Prabu Mundingsari Ageung cucu Prabu Siliwangi/Jayadewata, dikenal juga dengan Raden Ranggamantri/Parunggangsa, mendapat gelar Pucuk Umum dari Susuhunan Jati (Syekh Syarief Hidayatullah), beliau menikah dengan Ratu Sunyalarang (Ratu Parung) yang merupakan pewaris tahta kerajaan Talaga. Adalah Ratu Simbarkencana, pewaris tahta Talaga yang menikah dengan Raden Kusumalaya anak dari Prabu Ningrat Kencana/Dewa Niskala dari Galuh, Raden Kusumalaya ini adalah adik dari Prabu Siliwangi/Jayadewata. Pernikahan Ratu Simbarkencana dan Raden Kusumalaya, mempunyai anak Sunan Corendra/Sunan Parung, Sunan Corendra mempunyai istri 2, 1. Mayangsari anak Prabu Langlangbuana, Kuningan, menurunkan Ratu Sunyalarang (Ratu Parung), Talaga, 2. Ratu Sintawati/Ratu Patuakan anak Sunan Patuakan, raja Sumedang Larang, mempunyai anak bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata, kelak menikah dengan Pangeran Santri. Pernikahan Sunan Corendra dengan Mayangsari mempunyai anak bernama Ratu Sunyalarang (Ratu Parung), yang nikah dengan Raden Ranggamantri, sedangkan Sunan Corendra setelah menikah dengan Ratu Sintawati, kelak tinggal di Sumedang Larang meneruskan tahta mertua-nya, wafat di Sumedang Larang. Kekuasaan di Talaga diberikan kepada anaknya Ratu Sunyalarang (Ratu Parung, mengambil nama dari ayahnya). Karena menikah dengan Ratu Sunyalarang, Raden Ranggamantri mempunyai gelar Sunan Parunggangsa(Sunan Parung, sama dengan mertuanya), kelak diberi gelar Pucuk Umum oleh Susuhunan Jati (Syekh Syarief Hidayatullah), beliau dipercaya menyebarkan syiar islam di wilayah Talaga. Baik Susuhunan Jati, ataupun Raden Ranggamantri adalah sama sama cucu Prabu Siliwangi, Raden Ranggamantri adalah anak Prabu Mundingsari Ageung, cucu Prabu Siliwangi dari istrinya bernama Istri Rajamantri (Padwawati) anak dari Prabu Gajah Agung, Sumedang Larang. Sedangkan Sunan Gunungjati anak Lara Santang cucu Prabu Siliwangi dan Subang Larang.
  2. Pucuk Umum di Sumedang Larang, adalah anak Sunan Corendra, Talaga dan Ratu Sintawati, Sumedang Larang, bernama Setyasih yang kelak menikah dengan Pangeran Santri, Ratu Setyasih ini mempunyai gelar Ratu Pucuk Umum juga, berarti antara Ratu Talaga dan Ratu Sumedang Larang adalah saudara seayah, berdasarkan fakta ini Raden Ranggamantri/Parunggangsa yang juga mempunyai gelar Pucuk Umum juga tidak diragukan lagi adalah islam.
  3. Pucuk Umum, Banten, Prabu Siliwangi dari istri Kentring Manik, mempunyai anak Prabu Surawisesa penerus raja Pajajaran, Adipati Suranggana, penguasa Banten Girang, dan Adipati Surosowan, penguasa Banten pesisir. Baik adipati Suranggana ataupun sang Surosowan, sama sama mempunyai gelar Pucuk Umum. Dalam sejarah yang ditulis sejarawan Prof Yoseph Iskandar bersumber naskah Wangsakerta, disebutkan bahwa Adipati Suranggana/Pucuk Umum, Banten Girang adalah murid Syekh Ali Rahmatullah (Sunan Ampel), ketika itu Sunan Ampel dalam perjalanan dari Campa ke Jawa Timur, singgah di Banten, kedatangan beliau diterima dengan hormat oleh penguasa Banten, pesisir Sang Surosowan dan Banten Girang, sang Suranggana. Dari fakta ini sang Suranggana/Pucuk Umum Banten, Girang, adalah orang banten pertama yang memeluk agama islam, dari adipati Suranggana ini mempunyai anak dikenal dengan nama Ki Mas Jong dan Agus Ju, merupakan makam yang sering diziarahi umat islam di Banten, Girang, makam di Banten Girang, tokoh yang membantu Sultan Maulana Hasanudin menyebarkan agama islam di tatat Banten, dan makam kedua tokoh ini adalah salah satu makam yang sering diziarahi umat islam. Artinya Sang Suranggana adalah masih terhitung kakek dari Sultan Maulana Hasanudin juga sudah memeluk agama islam jauh sebelum kedatangan Sunan Gunung Jati, sebab Sang Suranggana adalah saudara seayah dengan Pangeran Cakrabuana dan Subang Larang, yang merupakan Ua dan Ibu dari Susuhunan Jati. Kemudian dari Sang Surosowan mempunyai anak beranama Aria Surajaya, dan Nyai Kawung Anten, kelak Nyai Kawung Anten menikah dengan Sunan Gunung Jati dan melahirkan putra Maulana Hasanuddin, Sultan Banten I, berarti pernikahan antara Sunan Gunung Jati dan Nyai Kawung Anten adalah pernikahan sama sama cucu Prabu Siliwangi/Sri Baduga Maharaja/Jayadewata yang bukan hanya menyatukan keturunan Subang Larang dan Nyai Kentring Manik, tetapi juga menyatukan keturunan Prabu Wastukencana, lewat anaknya Prabu Niskala Dewa, Galuh (ayah Prabu Siliwangi), dan Prabu Susuk Tunggal, Sunda (ayah Kentring Manik), secara gen/darah Sultan Maulana Hasanudin adalah pewaris Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, dan Prabu Wastu Kencana.
Keturunan Raden Ranggamantri dan Ratu Sunyalarang


Pernikahan Raden Ranggamantri dan Ratu Sunyalarang (Ratu Parung), mempunyai 5 orang anak, mereka itu adalah :
  1. Prabu Haurkuning, mempunyai kekuasaan di Talaga yang selang kemudian di pindah ke Ciamis, kelak keturunan dia banyak yang menjabat sebagai Bupati di Ciamis.
  2. Sunan Wanaperih/Aria Kikis, memegang tampuk kekuasaan di walangsuji, disebut Wanaperih karena sesuai kesepakatan keraton Ciburang, beliau harus mengasingkan diri/khalwat di hutan, Wana = hutan, Perih = prihatin, kelak keturunan bukan hanya menjadi Pemimpin/Bupati di Subang, Purwakarta, Karawang, Cianjur, Sukabumi, Bogor, tetapi sebagai pendakwah/penyebar islam yang handal di wilayah wilayah itu, bahkan sampai batavia/jakarta.
  3. Dalem Lumaju Agung di kawasan Maja.
  4. Dalem Panuntun di Majalengka
  5. Dalem Panaekan dulunya dari Walangsuji kemudian berpindah-pindah menuju Riung Gunung, sukamenak, nunuk Cibodas dan Kulu






Sunan Wanaperih/Pangeran Salingsingan/Raden Aria Kikis

Adalah anak kedua dari Raden Ranggamantri/Parunggangsa/Pucuk Umum dengan Ratu Sunyalarang, beliau memegang tampuk kekuasaan di walangsuji, selain seorang pendakwah yang handal, beliau terkenal ketika konflik Talaga dengan Cirebon/Demak, ketika itu beliau dengan pasukan kecil dan persenjataan minim banyak menghancurkan pasukan Cirebon/Demak dan berhasil memukul mundur pasukan Cirebon/Demak. Berikut kutipan Senapati Aria Salingsingan/Aria Kikis dari wipedia :



Hubungan Demak dan Cirebon[sunting sumber]

Diawali dangan ikut campurnya Demak untuk menarik upeti dari Talaga melalui Cirebon, sedangkan kondisi rakyat Kerajaan Talaga yang sangat memerlukan perhatian pemerintah (lagi susah), akhirnya permintaan Cirebon dan Demak untuk menarik upeti dari Talaga "ditolak". Selanjutnya, dengan tiba-tiba saja pasukan Cirebon yang dibantu Demak menyerang Talaga. Dengan demikian terjadilah peperangan hebat antara Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Aria Kikis melawan pasukan penyerobot dari Cirebon dan Demak. Di medan laga sekalipun prajurit-prajurit Kerajaan Talaga yang dibantu ketat oleh puragabaya serta pendekar-pendekar dari padepokan-padepokan dan pesantren-pesantren Islam itu jumlah pasukan dan senjatanya lebih kecil dibanding jumlah serta kekuatan para aggresor, akan tetapi pasukan Talaga dengan penuh semangat dan patriotisme tetap mengadakan perlawanan. Dengan teriakan dan gaung Allahu Akbar, serentak pasukan Talaga dengan kecepatan dan kesigapan yang luar biasa menerjang lawannya dan terus menerus mengkikis habis para aggressor yang datang menyerang tanpa kesopanan dan tatakrama itu. Syukurlah bahwa akhirnya kekuatan para penyerobot itu dapat dilumpuhkan dan semua pasukan Cirebon dan Demak dapat diusir keluar dari wilayah Kerajaan Talaga.



Kesepakatan Keraton Ciburang

Karena peristiwa itu Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah serta merta datang ke Talaga dan disambut secara khidmat dan hormat oleh Pangeran Satyapati Arya Kikis, Senapati Kerajaan Talaga, Sang Sunan Wanaperih; tidak urung dengan mendapatkan penghormatan besar dari para prajurit, puragabaya, para pendekar dan rakyat kerajaan Talaga serta Galuh Singacala. Sesuai dengan kesepakatan pada musyawarah di Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh para Raja dari Galuh beberapa waktu yang silam, yang menyatakan bila Kanjeng Waliyullah sendiri mengucapkan titahnya, mereka semua akan tumut kepada Kanjeng Sinuhun Cirebon, Syarif Hidayatullah. Ternyata kesepakatan di Keraton Ciburang itu dengan takdir Allah terkabul juga. Pada saat itulah Kanjeng Sinuwun Sunan Gunung Jati Cirebon bersabda; Bahwa peperangan itu sungguh ditakdirkan Allah; tetapi bukan merupakan perang agama, Terjadinya perang Talaga hanya karena tindakan keliru pasukan Cirebon dan Demak. Dalam riwayat lain berkata : “Perang dengan telaga berawal dari masalah sepele, yaitu perselisihan antara Demang Talaga dan Tumenggung ( Caruban ) Kertanegara akibat salah paham. Mereka berkelahi dan Demang Talaga terbunuh dalam perkelahian itu. Kematian Demang Talaga ternyata telah membuat marah Yang Dipertuan Talaga, Prabu Pucuk Umun, dan putera mahkota, Sunan Wanaperih (Pangeran Salingsingan / Raden Aria kikis) . Kabarnya, mereka dihasut oleh Rsi Bungsu, yang menuduh peristiwa tewasnya Demang talaga itu didalangi oleh yang Dipertuan Caruban. Lalu, pasukan Talaga disiapkan untuk menyerbu wilayah Caruban.”. Kemudian Sinuwun Cirebon mendamaikannya dan Sinuwun Syarif Hidayatullah mengijinkan kepada Pangeran Aria Kikis untuk beruzlah dan berkholwat (riyadhah dan mujahadah) di kampungnya yaitu di Leuweung Wana yang selanjutnya disebut Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami hakekat ajaran Agama Islam sedangkan kerajaan Talaga tetap berdiri secara mandiri, adapun kepemimpinannya diayomi oleh Kanjeng Waliyullah, Sunan Gunung Djati.

Kejadian di atas terjadi sekitar tahun 1550 M, ketika semua rakyat Kerajaan Talaga sudah memeluk agama islam.

Sampai saat ini penulis belum mengetahui siapa nama istri Sunan Wanaperih, tetapi dari berbagai sumber beliau mempunyai anak sbb :

  1. Dalem Cageur
  2. Dalem Kulanata
  3. Apun Surawijaya atau Sunan Kidul
  4. Ratu Radeya menikah dengan Arya Sarngsingan
  5. Ratu Putri menikah dengan Sayid Faqih Ibrahim lebih dikenenal Sunan Cipager
  6. Dalem Wangsa Goparana, berpindah ke Sagalaherang, beliau dan keturunannya penyebarankan agama islam di wilayah Sumedang, Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi, Cianjur, Bogor, sampai Batavia/Jakarta. Salah seorang anaknya bernama Rd Dalem Aria Wiratanudatar (Dalem Cikundul) adalah disamping seorang juru dakwah/penyebar agama islam, beliau juga adalah pendiri Cianjur yang terbebas dari dari kekuasaan Mataram, Sumedang Larang, dan VOC/Belanda. Dalem Cikundul, diangkat oleh para pemimpin Cianjur, Sukabumi, Bogor, sebagai Raja Gagang, artinya beliau penerus kerajaan Pajajaran di wilayah tengah. Keturunannya banyak menjadi ulama besar diantaranya adalah Syekh Yusuf, (Baing Yusuf) di Kaum, Purwakarta, yang merupakan guru ulama penulis kitab terkenal di mancanegara/mendunia yaitu Syekh Nawawi, Albantani, makam Baqi, Mekkah. Ulama lain yang masih keturunannya adalah KH Abdullah Bin Nuh, ulama Cianjur ini juga selain tokoh kemerdekaan, juga terkenal di mancanegara, raja Yordania, pernah bertandang ke rumahnya di Bogor, untuk meminta do'a khusus. Ketika wafat beberapa dubes negara Islam banyak datang untuk bertaziah.

Sunan Waparerih wafat sekitar tahun 1590 M, dan dimakamkan di desa Kagok, Kecamatan Banjaran, Majalengka

makam Sunan Wanaperi/Aria Salingsingam/Aria Kikis, Desa Kagok, Kec Banjaran, Majalengka


pintu masuk ke makam Sunan Wanaperih

ribuan peziarah pada saat haul Sunan Wanaperih

haul  Sunan Wanaperih bukan hanya dihadiri dari pulau jawa tapi dari luar juwa









bersambung......