Sabtu, 13 Oktober 2018

Sadikin Sang Penumpas Pemberontakan Madiun 1948



Kolonel Sadikin bersama Ama Rd Puradiredja ketika menjadi Pangdam Siliwangi IV 1950

Ketika mendengar nama Sadikin kita lebih familiar dengan nama Ali Sadikin, sang mantan gubernur DKI, padahal Sadikin lebih dahulu terkenal di jamannya dan mempunyai karir cemerlang, lahir di Purwokerto 1916, meniti karir sebagai tentara KNIL 1939, kemudian bintara Heiho/Peta bagian artileri udara di jaman Jepang. Ketika Soekarno, Hatta ragu untuk proklamirkan RI, Sadikin 16 Agustus 1945 mengibarkan bendera merah putih di kesatuannya, memimpin upacara bahwa Peta harus masuk Tentara Nasional.
Karirnya diawali dengan komandan Resimen VI Cikampek menggantikan Suroto Kunto yang hilang/wafat diculik NICA, Brigade 4 Divisi Siliwangi Tasikmalaya, Brigade 2 Divisi Siliwangi ketika hijrah ke Surakarta
Beliau buronan NICA no 1 di Jawa Barat, berulang kali Nica menangkapnya berulang kali beliau lolos.

Namanya kalah tenar dengan Ali Sadikin mantan gubernur DKI, sama namaya Brigjen Sadikin (purn), mantan pangdam siliwangi iv (1949-1951), tetapi prestasinya patut diacungkan jempol : 
- Sadikin lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 11 April 1916
- 16 Agustus 1945 telah mengibarkan bendera merah putih, dan di saat soekarno ragu mendirikan tentara nasional, beliau telah memproklamirkan tentara nasional (Nasution)
- Desember 1946 komandan Resimen 6 Cikampek, Brigade 4 Divisi Siliwangi
- 1948 divisi siliwangi hijrah ke solo karena persetujuan renville
- di solo brigade sadikin di fitnah oleh komunis telah melakukan pembunuhan dan penculikan, akibatnya markas 1 batalyon sadikin di tasikmadu diserang 4 batalyon yg beraliansi ke komunis, hasilnya 4 batalyon musuh dipukul mundur
- tidak puas dengan itu, penyerang terdiri dari gabungan au, al, ad menyerang markas srambatan, dan brigade sadikin memukul mundur penyerang keluar kota solo
- rupanya komunis sengaja membuat kekacauan di solo (wild wild west) untuk rencana lebih besar, 19 september 1948 pemberontakan di madiun
- pemerintah pusat di jogyakarta memberi waktu 1 bulan untuk menumpas komunis, brigade sadikin hanya butuh waktu 9 hari merebut kembali madiun
- sukses memimpin long march yg legendaris, sadikin orang 1 di jabar buruan nica tapi nica tidak pernah berhasil menangkapnya
- 1949 - 1951 pangdam siliwangi
-1951 - 1956 pangdam tanjungpura


Beliau masuk orang ke 1 daftar pencarian Belanda di Jawa Barat, berulang kali disergap berulang kali juga gagal, karir militer cemerlang

https://historia.id/militer/articles/sadikin-proklamator-tentara-nasional-indonesia-voY16

Sadikin, Proklamator Tentara Nasional Indonesia

Sebelum proklamasi kemerdekaan, Sadikin memproklamasikan Tentara Nasional Indonesia.


Amuk Baret Hijau di Leuncang

Oleh Hendi Johari/Historia

Gagal mendapatkan Panglima Divisi Siliwangi, Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Belanda membantai tawanan perang dan rakyat sipil.

DEN HAAG, 1952. Letnan Kolonel Soegih Arto, tengah menjadi salah seorang peserta sebuah kursus militer yang diadakan oleh Fakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Suatu hari, sopirnya selama di Belanda, mengajak Soegih untuk berkunjung ke rumahnya.
“Saya ingin memperlihatkan sesuatu,” ungkap letnan Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KST) berkebangsaan Timor tersebut.
Singkat cerita, Soegih Arto memenuhi undangan itu. Saat di rumahnya, sang letnan memperlihatkan sejumlah foto yang terkait dengan operasi-operasi militer yang pernah dia ikuti di Indonesia. Di antaranya adalah foto-foto yang memperlihatkan jasad Mayor Abdrurrachman Natakoesoema dan Kapten Edi Soemadipradja, yang terlihat baru saja dieksekusi.
“Saya sedih sekali melihat foto mayat kedua rekan seperjuangan itu,” ungkap Soegih Arto dalam biografinya, Saya Menulis Anda Membaca (Sanul Daca): Pengalaman Pribadi Letnan Jenderal (Purn) Soegih Arto.
Siapakah sebenarnya Mayor Abdurrachman Natakoesoema dan Kapten Edi Soemadipradja? Bagaimana mereka bisa gugur di tangan sebuah unit khusus tentara Belanda?
Sumedang, tiga tahun sebelumnya. Samyi tengah bekerja sebagai buruh tani di Sampora ketika rentetan tembakan terdengar dari arah Leuncang. Kendati kedua kampung itu  sama-sama masuk wilayah Desa Cibubuan, Kecamatan Conggeang, tapi jaraknya cukup berjauhan: sekira 4 km.
Orang-orang kemudan ramai mengabarkan: Leuncang diserang tentara Belanda. Sejenak dia terhenyak. Terbayang wajah orangtua dan saudara-saudaranya. Kendati mengkhawatirkan kondisi mereka, Samyi dicegah majikannya untuk meninggalkan Sampora.
“Tapi karena merasa tak tenang terus, sore harinya saya nekat pulang ke Lencang,“ kenang Samyi, berusia 87 tahun, kepada Historia.
Sesampai di Lencang, Samyi menemukan suasana mencekam. Dari kawan-kawannya, terbuhul kisah: sejak pagi buta hingga siang, tentara Belanda mengobrak-abrik Leuncang. Belasan orang menjadi korban, termasuk Mayor Abdurachman Natakoesoema, Komandan Bataliyon II Tarumanegara Divisi Siliwangi.
***
Selepas long march (perjalanan panjang dari Jawa Tengah dan Yogyakarta ke basis semula di Jawa Barat) awal 1949, kedudukan Markas Besar Divisi Siliwangi berada di Kecamatan Buah Dua, Sumedang. Karena wilayah itu wewenang Batalyon II Tarumanegara di bawah Mayor Abdurachman Natakoesoema, keamanan Panglima Divisi Siliwangi Letkol Sadikin dan jajarannya menjadi tanggungjawab pasukan itu.
“Pengawalan dari Yon II dilaksanakan Kompi III yang dikomandani oleh Kapten Edi Soemadipradja,” tulis Amirmachmud dalam otobiografinya Prajurit Pejuang
Namun militer Belanda yang berkedudukan di Sumedang kota sudah mencium keberadaan Letkol Sadikin. Setelah mendapat konfirmasi dari para telik sandi-nya, mereka menyusun rencana operasi perburuan. Sebagai eksekutor dipilihlah Kompi Eric, suatu unit kesatuan Baret Hijau (KST) yang dikenal ganas terhadap para pejuang Indonesia.
“Saya tidak pernah memelihara tawanan perang, saya memburu mereka memang untuk dibunuh,” ujar Letnan Satu Henk Ulrici, komandan Kompi Eric, dikutip Haagse Post edisi Agustus 1965.
Kompi Eric memulai aksinya awal April 1949. Dalam catatan Letkol J.J. Malta, selama beberapa hari mereka bersiap di sekitar kaki Gunung Tampomas, tempat terdekat ke Buah Dua. “Dengan berjalan kaki, mereka mengatasi medan berat Gunung Tampomas yang saat itu sering dilanda hujan dan menunggu kesempatan baik untuk melakukan serangan mendadak,” tulis J.J. Malta dalam De Geschiedenis van 4-3 R.I. in Indonesie (Sejarah Yon 4-3 Resimen Infantri di Indonesia).
Meskipun sudah berupaya menjalankan operasi senyap, gerak-gerik Kompi Eric ternyata terpantau jua oleh telik sandi Yon II Tarumanegara. Berdasarkan informasi itu, Mayor Abdurachman segera mengevakuasi Letkol Sadikin dan jajarannya ke wilayah Kompi II pimpinan Kapten Komir Kartaman di Sumedang Timur. Hari-H evakuasi: Senin, 11 April 1949 jam 03.00.
Menurut Oyo Salya Sukatma, Mayor Abdurachman menugaskan ajudannya, Letnan II Dadang Mirtaatmadja, untuk menyertai rombongan Letkol Sadikin. ”Dia memimpin satu seksi pasukan lengkap untuk memperkuat satu seksi pengawal khusus panglima yang dipimpin oleh Letnan II R. Otje Djundjunan,” ujar Oyo Salya Sukatma, penulis buku Sejarah 11 April.
Abdurachman tak ikut rombongan karena penyakit malarianya sedang kambuh. Tanpa ajudan dan pasukan pengawal, dia memutuskan beristirahat di kampung Leuncang dan berencana akan menyusul begitu malarianya reda.
Seiring keberangkatan rombongan panglima Divisi Siliwangi, dari hutan Gunung Tampomas, Kompi Eric diam-diam bergerak menuju Leuncang. Tujuan utama mereka melakukan serbuan kilat sekaligus meringkus Letkol Sadikin.
Minggu, 10 April 1949. Sepucuk surat dari pos terdepan Yon II di Conggeang (yang bertetangga dengan Buah Dua) diterima Soemawidjaja (Kepala Desa Cibubuan) di Leuncang. Isinya pendek saja: harap waspada, sekitar satu kompi Baret Hijau terlihat di sekitar Conggeang. Namun entah lupa atau “mengecilkan” informasi itu, Soemawidjaja tak menyampaikannya kepada Kapten Edi atau Mayor Abdurachman.
Keesokan paginya Cibubuan didera hujan rintik-rintik. Di tengah udara subuh yang membekap tulang sumsum, ratusan prajurit Baret Hijau mengepung Leuncang. Mereka bergerak cepat namun nyaris tanpa suara.
Sementara itu, di pinggir kampung, sejumlah bocah tanggung tengah memeriksa jebakan belut yang mereka pasang. Salah satunya bernama Yasin, anak angkat Kapten Edi. Begitu melihat sekelompok tentara bergerak di kegelapan, sang bocah mengira mereka sebagai rekan-rekan bapak angkatnya.
“Eh, Jang. Kamu tahu rumah Pak Edi Soemadipradja dan Pak Abdurachman?” tanya salah seorang anggota Baret Hijau bumiputra dalam bahasa Sunda.
“Tahu, Pak…,” jawab Yasin dengan wajah sumringah.
“Kamu beri tahu ya.”
Yasin mengangguk. Dia membimbing “rombongan teman-teman bapaknya” itu ke arah kampung dan menunjuk satu persatu rumah yang didiami anggota Yon II.
Begitu situasi medan terkendali, Letnan Ulrici memberikan aba-aba penyerangan. Dari segala arah, berhamburanlah prajurit-prajurit Kompi Eric sambil menembakkan senjata. Beberapa prajurit Yon II langsung tewas di tempat, sebagian lagi bertahan sebisanya, sebelum akhirnya mundur dari Leuncang.
Setelah beberapa jam, pertarungan tak seimbang itu pun usai. Dalam nada keras, para prajurit Baret Hijau memerintahkan semua laki-laki keluar dan berkumpul di halaman Balai Desa Cibubuan. Adang salah seorang warga Leuncang ada dalam kumpulan tersebut. Kepada Oyo Salya, dia mengisahkan situasi mencekam kala itu.
“Seperti yang lain, saya disuruh berjongkok di pinggir jalan depan Balai Desa,” ujarnya.
Matahari baru saja terbit saat dari arah utara, Adang dan puluhan tawanan lainnya menyaksikan sekumpulan prajurit Kompi Eric menggiring Mayor Abdurachman beserta dua ajudannya: Sersan Sobur dan Kopral Karna. Ketiganya hanya mengenakan pakaian dalam dengan ibu jari terikat seutas tali ke belakang.
“Pak Mayor berjalan dengan todongan pistol di pelipisnya,” ujar Adang.
Tepat di depan Adang, Abdurachman diperintahkan berhenti. Sementara Sobur dan Karna disuruh berdiri di pintu masuk Balai Desa. “Mereka ada dalam posisi membelakangi Pak Mayor,” ujar Adang.
Abdurachman diberondong berbagai pertanyaan. Seorang Baret Hijau bumiputra secara kasar menanyakan keberadaan Letkol Sadikin. Alih-alih buka suara, Abdurachman diam seribu bahasa. Pertanyaan diulang sekali lagi. Namun sang mayor tetap bungkam.
Letnan Ulrici naik pitam. Tanpa banyak bicara, dia membidik kepala Kopral Karna dari arah belakang dengan pistolnya. Dor! Karna terpental ke depan dan tak berkutik lagi.
“Mayor, silakan Anda sebut di mana posisi Overste Sadikin?!” teriak Ulrici.
Hening. Tak ada jawaban.
Dengan kasar, Letnan Ulrici menarik Sersan Sobur ke depan Mayor Abdurachman lalu menempelkan laras pistolnya. Dor! Darah muncrat dan membasahi halaman Balai Desa. Seolah kurang puas, seorang anggota Baret Hijau memberondong kedua jasad itu dengan Owen-nya. Ratusan pasang mata terbelalak ngeri menyaksikan pemandangan itu. Sebagian malah memalingkan muka.
Diiringi seorang pengawalnya yang bersenjata Brengun, Ulrici menggiring Abdurachman ke arah selatan. Sekitar 100 meter, mereka berhenti di depan rumah milik Madkosim. Menurut kesaksian Sahlan, salah seorang warga yang lolos dari pembersihan dan sembunyi di rumahnya, dia sempat mengintip saat Ulrici memaksa Abdurachman duduk di tangga pintu masuk.
“Mayor! Apakah Anda akan memilih diam terus?!” teriaknya.
“Tembak saja saya!” jawab Abdurachman. Pelan namun terdengar tegas.
Ulrici terlihat geram. Dia lalu menempelkan moncong pistol ke dahi Abdurachman. Dor! Peluru menembus batok kepala sekaligus menghabisi nyawa Abdurachman seketika. Pengawal Ulrici lalu memeriksa jasad Abdurachman. Setelah dipastikan tak bernyawa lagi, dia lantas menembakkan Brengun-nya ke angkasa, seolah merayakan kematian sang mayor.
Setelah mengikat kaki dan tangan jasad Abdurachman, Ulrici memanggil seorang pemuda kampung bernama Sabja. Dia memerintahkan Sabja membawa jasad Abdurachman kembali ke Balai Desa. Sesampai di sana, jasad Abdurachman diletakkan dalam posisi duduk di bawah panji Yon II Tarumanegara yang sudah terkoyak, sementara darah terus mengucur dari kepalanya, membasahi kaos dalam putih yang dikenakannya.
“Jasad Pak Mayor lalu difoto-foto oleh salah seorang dari Baret Hijau,” kenang Adang.
Sekitar pukul 10.00, pasukan Baret Hijau menggiring tawanan, termasuk Kapten Edi dan dua pengawalnya, Sersan Roni dan Prajurit Saleh, ke arah Buah Dua. Saat melintas di Kampung Buganggeureung, tiga prajurit Yon II Tarumanegara itu dieksekusi dan mayat mereka dilempar ke selokan.
Operasi militer Belanda ke Leuncang memang bisa dikatakan gagal. Panglima Divisi Siliwangi Letnan Kolonel Sadikin berhasil lolos dari perburuan. Namun itu harus dibayar mahal, karena Siliwangi harus kehilangan 8 anggota Yon II Tarumanegara, termasuk Danyon Mayor Abdurrachman Natakoesoema dan Danki Kapten Edi Soemadipradja. Selain prajurit TNI, Kompi Eric secara brutal membantai juga 4 rakyat sipil. Sebagian dari mereka dieksekusi setelah disiksa dengan tusukan bayonet dan hantaman popor senjata.

Mereka yang Diincar APRA

Sejumlah perwira TNI menjadi target pembunuhan anak buah Westerling. Siapa saja?

Oleh Hendi Johari/historia

Sersan Mayor Soedarja masih ingat rumor yang beredar pada awal Januari 1950. Tersebutlah orang-orang Belanda yang tak puas dengan kesepakatan Konfrensi Meja Bundar (KMB). Mereka bermaksud membentuk gerakan tersendiri guna memanjangkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia.
“Kelompok itu bernama APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin oleh eks komandan Korps Pasukan Khusus (KST), Kapten R.P.P. Westerling,”ujar eks anggota intelijen Divisi Siliwangi itu.
APRA akan memulai gerakan dari Bandung. Selain sebagian anggota Baret Hijau dan Baret Merah yang tergabung dalam KST, kelompok ini juga diperkuat oleh mantan prajurit-prajurit KNIL dan anggota polisi federal yang dipimpin oleh Van der Meulen. Mereka kemudian akan merangsek ke Jakarta dan merencanakan menguasai gedung parlemen RIS.
Namun sebelum rencana itu diwujudkan, Westerling telah membuat rencana penyingkiran sejumlah tokoh militer dan sipil di Bandung. Menurut Soedarja, APRA berkepentingan menghilangkan orang-orang itu  karena dianggap akan menghalangi gerakan mereka di Bandung.
Soal rencana APRA itu, dibenarkan oleh Kolonel (Purn) Mohamad Rivai. Dalam otobiografinya, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dia menyebut sejatinya Westerling mengicar 7 tokoh Jawa Barat. Mereka adalah Kolonel Sadikin (Panglima Divisi Siliwangi), Mayor Mohamad Rivai (Kepala Penerangan Militer Gubernur Militer IV Jawa Barat), Letnan Kolonel Soetoko (Wakil Kepala Staf Divisi Siliwangi), Letnan Kolonel dr.Errie Sudewo (Kepala Staf Divisi Siliwangi), Letnan Kolonel Sentot Iskandardinata, Mayor CPM Roehan Roesli dan Sudjono (anggota Parlemen Negara Pasunda yang pro RI).
Aksi itu rencananya akan diwujudkan pada 5 Januari 1950. Caranya dengan memberikan racun kepada mereka. Demikian menurut pengakuan Abdul Karim bin Djamin, seorang eks anggota Laskar Rakyat Djawa Barat (LRDR) yang kemudian bergabung dengan gerakan bawah tanah-nya Kapten Westerling.
Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisaris Polisi Kelas II M. Saud Wirtasendjaja (sebagai Kepala Bagian Pidana di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat) pada 8 Maret 1950 terbuhullah pengakuan dari Abdul Karim. Dia menyebutkan bahwa pada 5 Januari 1950, dirinya dan seorang overste (letnan kolonel) berkebangsaan Belanda bernama Cassa mendatangi salah seorang tangan kanan Westerling di Bandung, Sersan Mayor KNIL Herman Louis.
“Di sana Cassa menyerahkan masing-masing 1 botol racun kepada saya dan Lois untuk membunuh ketujuh orang itu,” ungkap Abdul Karim seperti dikutip Mohamad Rivai dalam bukunya. Adapun cara menggunakan racun tersebut adalah dengan mencampurkan cairan maut itu dengan minuman yang pahit atau makanan yang panas.
Namun rencanan jahanam itu tak bisa terwujud karena ketujuh orang itu keburu mengetahuinya. Itu disebabkan oleh kegagalan Cassa saat akan meracun Panglima Divisi Siliwangi Kolonel Sadikin di Hotel Savoy Homan.
Selanjutnya APRA merubah cara pembunuhan dengan rencana penembakan langsung. Pada malam 22 Januari 1950, Westerling sudah mengatur pembunuhan terhadap Mayor Rivai dalam suatu rapat antara TNI, KNIL dan Batalyon Pengawal Pasundan (VB).
“Rencana itu gagal karena dihalangi oleh Kapten S. Manopo, perwira KNIL yang setia kepada kesepakatan KMB,” ujar Rivai.
Begitu juga rencana pembunuhan terhadap Letnan Kolonel Soetoko dan lain-lainnya gagal pula. Jika Soetoko berhasil meloloskan diri dari penyerbuan APRA pada 23 Januari 1950 di Markas Besar Divisi Siliwangi, maka Mayor CPM Roehan Roesli dan Letnan Kolonel dr. Errie Sudewo masing-masing sedang ada Yogayakarta dan Subang pada saat tim pembunuh itu datang. Begitu pula dengan ketiga sasaran yang lain: sedang tidak ada di tempat masing-masing.
Justru yang ketiban nasib sial adalah Letnan Kolonel A.G. Lembong (Kepala Pendidikan Angkatan Darat) dan ajudannya Letnan Satu Leo Kailola. Tanpa merasa curiga, pada saat penyerbuan APRA ke Markas Besar Divisi Siliwangi itu, mereka menghentikan mobilnya di depan markas. Begitu turun, alih-alih disambut pasukan penghormatan, mereka malah langsung diberondong ratusan peluru hingga tewas di tempat.







































































































































Sabtu, 24 Maret 2018

Para Ulama Besar Keturunan Dalem Aria Wangsagoparana, Nangkabeurit Sagalaherang

1. Syekh Yusuf Purwakarta/RH Yusuf (Baing Yusuf),

Beliau adalah guru dari ulama besar yang mendunia Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Nawawi Al-Bantani  merupakan sosok intelektual dan ulama terkenal bertaraf internasional, yang juga sempat menjadi Imam Masjidil Haram yang juga penulis 115 kitab yang meliputi bidang ilmu fikih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis,  Syekh Yusuf juga termasuk laskar Pangeran Diponegoro, dilahirkan di Bogor ketika ayahandanya R Aria Jayanegara menjabat Bupati di Bogor kurang lebih tahun 1796-1801 M, kemudian ayahandanya dipindah tugaskan ke Karawang. Syekh Yusuf usia 6 tahun sudah paham bahasa arab, usia 12 tahun hafiz Alquran, usia 13 tahun mukim di Mekah selama 11 tahun, menuntut ilmu, beliau berlayar sampai madagaskar bersama para pelaut.  Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Suriawinata atau Dalem Sholawat yang masih juga keturuna Dalem Ariawiratanudatar,   tahun 1830 ibu kota dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih yang diresmikan berdasarkan besluit (surat keputusan) pemerintah kolonial tanggal 20 Juli 1831 nomor 2, sindang kasih kemudian diganti menjadi Purwakarta purwa= awal, karta = kesejahteraan, Pembangunan dimulai antara lain dengan pengurugan rawa-rawa untuk pembuatan Situ Buleud, Pembuatan Gedung Karesidenan, Pendopo, Mesjid Agung, Tangsi Tentara di Ceplak, termasuk membuat Solokan Gede, Sawah Lega dan Situ Kamojing, Syekh Yusuf mendirikan mesjid yang sekarang menjadi mesjid kaum. Tanggal 8 – 9 Mei 1832 terjadi perang Makau di Purwakarta yaitu pemberontakan etnis cina dari Makau terhadap kolonial Belanda.Syekh Yusuf tinggal di Purwakarta, menyebarkan agama Islam, sampai wafat 1854 dimakamkan di Kaum, Purwakarta. R Aria Jayanegara adalah saudara ipar dari Adipati Suryalaga II (Raden Ema) dari Sumedang yang merupakan saudara Pangeran Kornel, Adipati Suryalaga menjabat bupati di Bogor kemudian dipindahkan ke Karawang, dimana istri Adipati Suryalaga II bernama Nyi Raden Hamsyiah adalah adik dari R Aria Jayanegara. Artinya Nyi Raden Hamsyiah adalah bibi dari KH R Yusuf Purwakarta (Baing Yusuf).
Sampai sekarang makamnya sering diziarahi ratusan peziarah, dan makamnya tidak pernah sepi dari peziarah yang umumnya dari luar Purwakarta
Adapun nasabnya adalah KH R Yusuf bin R Jayanegara bin Aria Wiratanudatar V bin Aria Wiratanudatar IV bin Aria Wiratanudatar III bin Aria Wiratanudatar II bin Aria Wiratanudatar I bin Aria Wangsagoparana


2. Syekh Muhammad Muhtar Atharid Al Bughri, Al Jawi (Tuan Muhtar Bogor)

Lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 14 Sya’ban 1278 (14 Februari 1862).Ketika kecil beliau bersama orangtuanya tinggal di Bojongneros Bogor. Ketika kecil orangtuanya menyekolahkan Syekh Muhtar ke bebrapa sekolah umum tetapi tidak terlalu menghasilkan yang diharapkan, kemudian beliau dimasukkan ke pesantren dan terlihat kejeniusannya, kemudian orangtuanya memberangkatkan Syekh Muhtar ke Mekah untuk bermukim dan menunutu ilmu, Kira Kira umur 30 tahunan beliau sempat kembali lagi ke Bogor mengunjungi saudara saudaranya, kemudian menetap kembali ke Mekah sampai wafatnya. Ayahnya R Aria Natagara adalah seorang yang mempunyai jabatan setingkat wedana di dareah Senen, Jakarta Pusat. Syekh Mukhtar dilantik dan dikukuhkan oleh konsesi para ulama Makkah sebagai pengajar, ahli hadits dan bahkan guru besar di masjidil Haram Mekkah. Syeikh Mukhtar mengajar di Masjidil Haram dan di tempat tinggal beliau sendiri. Beliau Mengajar di Masjid al-Haram Setelah Maghrib dan Isya. Beliau mengajar kelas para pelajar senior dan ulama-ulama dari berbagai penjuru dunia. “Majlis Syekh Mukhtar dihadiri oleh 400 orang terdiri dari para Masyayikh atau Santri senior (ulama)”. Setiap pagi Syekh Mukhtar membuka kelas Ngaji Nahwu tafsir dll, ba’da asyar membuka kitab Ihya Ulumuddin. Dan khusus setiap selasa Ngaji Ilmu falaq atau astronomi dan juga metrologi. Setiap malam jum’at membuka majlis zikir dan setiap selesai Majlis selalu membagikan makanan. “Hal-hal seperti ini tidak terdokumentasi di sumber-sumber Nusantara. Alhamdulillah ada sumber dari Arab.  Beliau mengajar di Masjidil Haram selama kurang lebih 28 tahun. murid-murid Syeikh Mukhtar banyak yang menjadi ulama besar seperti: Haji Abdullah Fahim(Mufti Pulau Pinang), Tengku Mahmud Zuhdi (Syeikh al-Islam Selangor), Sayyid Muhsin bin Ali al-Masawi, (Pendiri Madrasah al-Ulumid Diniyah), Mekah, Kiyai Ahmad Dimyathi bin Abdullah at-Tarmasi (adik Syeikh Muhammad Mahfuz at-Tarmasi yang sangat terkenal), KH Hasyim al-Asy’ari, (Pendiri Nahdhatul Ulama), KH Manshur bin Abdur Rahman Bogor al-Batawi, Sayyid Muhammad Ahyad bin Idris Bogor(menantu Syeikh Mukhtar), Syeikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani (Padang), Tuan Guru Haji Muhammad Zain bin Tama Kajang (1324 H/1908 M – 1413 H/ 1992 M) dan masih banyak lagi. Syeikh Mukhtar wafat di Mekah pada tanggal 17 Shafar 1349H (13 Juli 1930 M)

Nasabnya Syekh Muhtar bin R Natanagara bin Aria Wiratanudatar VI bin  Aria Wiratanudatar V bin Aria Wiratanudatar IV bin Aria Wiratanudatar III bin Aria Wiratanudatar II bin Aria Wiratanudatar I bin Aria Wangsagoparana

3. KHR Abdullah bin Nuh (Mama')
Dilahirkan di Kampung Bojong Meron, Kota Cianjur, pada 30 Juni 1905. Sekembali dari Makkah, KH Abdullah bin Nuh belajar di Madrasah al-I’anah Cianjur yang didirikan oleh ayahandanya. Kemudian ia meneruskan pendidikan ke tingkat menengah di Madrasah Syamailul Huda di Pekalongan, Jawa Tengah. Bakat dan kemampuannya dalam sastra Arab di pesantren ini begitu menonjol. Dalam usia 13 tahun, ia sudah mampu membuat tulisan dan syair dalam bahasa Arab. Oleh gurunya, artikel dan syair karya Abdullah dikirim ke majalah berbahasa Arab yang terbit di Surabaya.  Kemahirannya dalam bahasa Arab mengantarkan KH Abdullah bin Nuh dikirim ke Universitas al Azhar, Kairo, Mesir. Di sana ia masuk ke Fakultas Syariah dan mendalami fiqih Mazhab Syafii. Setelah dua tahun belajar di Al Azhar, KH Abdullah bin Nuh berhasil mendapat gelar Syahadatul ‘Alimiyyah yang memberinya hak untuk mengajar ilmu-ilmu Keislaman. Tahun 1945-1946, ia memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tahun 1948-1950, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta. Kiai pejuang ini wafat pada 26 Oktober 1987, setelah kurang lebih 17 tahun bermukim di Bogor dan mengabdikan ilmu agamanya bagi masyarakat sekitar.
 Nasabnya dari laki laki KH Abdullah bin Nuh bin RH Idris, bin RH. Arifin, bin RH Sholeh putra, RH Muhyiddin Natapradja bin  Aria Wiratanudatar V bin Aria Wiratanudatar IV bin Aria Wiratanudatar III bin Aria Wiratanudatar II bin Aria Wiratanudatar I bin Aria Wangsagoparana
Nasab dari perempuan KH Abdullah bin Nuh bin RH Idris, binti Samroh bin H Abdul Halim/Ratu Ibad, Sukaraja, Bogor binti Ratu Naqibah binti Ratu Dewi binti Ratu Kawung bin Pangeran Purbaya bin Sultan Abul Fattah/Sultan Ageng Tirtayasa, Banten bin Sultan Abul Maali bin Sultan Abul Makfir Mahmud abdul Kadir Kenari bin Sultan Maulana Muhammad bin Sultan Maulana Yusuf bin Sultan Maulana Hasanudin, Banten bin Sunan Gunung Jati, Cirebon