Sebelum
membahas topik di atas, ada sumber sejarah tanah pasundan yaitu
naskah Bujangga Manik yang tersimpan di Perpustakaan Bodleian,
Oxford, Inggris. Bujangga Manik adalah seorang rohaniawan yang
melakukan perjalanan rohani/spiritual/ziarah ke tempat tempat
sakral/keramat /kabuyutan di tanah jawa dan bali, beliau hidup di
penghujung masa kerajaan Pajajaran, dan Majapahit, artinya pada saat
itu kedua kerajaan ini masih berdiri, hal itu dibuktikan dengan
tempat tempat yang dikunjungi menunjukkan eksistensi kedua kerajaan
itu. Kerajaan Majapahit runtuh tahun 1400 Saka atau tahun 1478
Masehi, sedangkan Pajajaran runtuh tanggal 11 bagian terang bulan
Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 Mei 1579 M. Artinya Bujangga
Manik melakukan perjalanan sebelum tahun 1478 M, tidak diketahui
pasti tahun berapa perjalanan itu dilakukan, perkiraan 5 atau 10
tahun sebelum majapahit runtuh sekitar 1470-an.
Naskah
Bujangga Manik berbentuk puisi-prosa yang terdiri atas 1641 baris,
diperkirakan ditulis pada abad ke-15. Naskah Bujangga Manik ditemukan
oleh Andrew James, seorang pedagang asal Newport. Naskah ini lalu
diserahkan kepada Perpustakaan Bodleian, Oxford pada 1627 oleh
saudagar tersebut. Baru tahun 1968 (341 tahun semenjak diterima oleh
perpustakaan di Oxford), naskah ini diteliti oleh seorang peminat
naskah kuno dari Belanda, yakni Jacobus Noorduyn. Noorduyn-lah yang
kemudian selama berpuluh-puluh tahun meneliti naskah ini, yang
kemudian dibuatlah artikel berjudul Bujangga Manik Journeys through
Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source? Akan tetapi,
Noorduyn wafat sebelum sempat mengumumkan penelitiannya yang
menyeluruh atas naskah Bujangga Manik ini. pekerjaannya yang terputus
ini lalu diteruskan oleh seorang sahabatnya yang juga peminat budaya
dan sastra Indonesia yang juga berkebangsaan Belanda, bernama A.
Teeuw. Teeuw melengkapi kajian-kajian Noorduyn atas naskah Bujangga
Manik (termasuk dua naskah lainnya: Putra-purta Rama dan Rawana dan
Perjalanan Sri Ajnyana). Dari sini lahirlah buku berjudul Three Old
Sundanese Poem (2006) yang diterjemahkan oleh Hawe Setiawan dengan
judul Tiga Pesona Sunda Kuna (2008). Noorduyn dan A. Teeuw
memperkirakan bahwa kisah perjalanan Bujangga Manik berlangsung
mungkin juga disusun pada masa Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran
masih eksis dan ketika Kesultanan Malaka masih menguasai jalur
perniagaan Nusantara, sebelum jatuh ke tangan Portugis pada 1511, di
mana Malaka telah menguasai jalur perniagaan sejak 1440.
Naskah
Bujangga Manik menceritakan seorang petapa, rohaniawan yang memilih
hidup sebagai petualang untuk memuaskan batin spiritualnya, padahal
ia merupakan seorang tohaan (pangeran) istana Pakuan. Tokoh utamanya
bernama Bujangga Manik, dan di beberapa halaman berubah menjadi Ameng
Layaran. Ada sekitar 450 nama tempat yang ia singgahi, termasuk di
antaranya 90 nama gunung dan 50 nama sungai terbentang dari Sunda
bagian barat (Pakuan) sampai Pulau Bali dimana sebagian nama-nama
geografis tersebut masih dikenal hingga kini. Selain berfungsi
sastrawi yang indah, Bujangga Manik bisa dikatakan sebagai
ensiklopedi geografi Jawa?di mana tedapat ulasan berbagai segi
kehidupan, baik dari budaya, agama, geografi, bahasa, arsitektur.
Menurut A. Teeuw, kritikus sastra asal Belanda tersebut, naskah
Bujangga Manik, sama seperti naskah-naskah Sunda kuno lainnya,
bersifat otentik, tidak disalin, dan hanya satu-satunya di dunia
(codex uniqus). Sayang, hingga kini naskah ini masih tersimpan di
perpustakaan di Inggris.
Dalam
naskah Bujangga Manik tertulis :
Sacu(n)duk
aing ka Wakul,
sadatang
ka Pacelengan,
ngalalar
aing ka Bubat,
cu(n)duk
aing ka Mangu(n)tur,
ka
buruan Majapahit,
ngalalar
ka Dar/ma Anyar, /15r/
na
Karang Kajramanaan,
ti
kidulna Karang Jaka.
(Setiba
di Wakul,
sampai
di Pacelengan,
aku
berjalan melewati Bubat,
dan
tiba di Maguntur,
alun-alun
Majapahit,
pergi
melewati Darma Anyar,
dan
Karang Kajramanaan,
sebelah
selatan Karang Jaka.)
Bait
di atas menunjukkan beberapa nama tempat di Majapahit, diantaranya
Maguntur, Bubat, dan alun alun Majapahit, artinya pada saat itu
kerajaan Majapahit masih eksis keberadaannya. Kemudian mohon
perhatikan bait lain dari Naskah Bujangga Manik :
Ku
ngaing geus kaideran,
lurah-lirih
Majapahit,
palataran
alas Demak.
Sanepi
ka Jati Sari,
datang
aing ka Pamalang.
(Aku
berkelana
melewati
wilayah-wilayah berbeda di Majapahit,
dan
daerah dataran Demak.
Setiba
di Jati Sari,
aku
datang ke Pamalang.)
bait
di atas menunjukkan daerah Demak, sebelumnya Demak dikenal dengan
nama desa Glagahwangi, setelah Raden Fatah membangun pesantren dan
mesjid, menjadi daerah yang banyak dikunjungi dan berubah menjadi
Demak, artinya Bujangga Manik pada saat berkunjung ke jawa tengah
saat itu Majapahit masih berdiri dan kerajaan Demak sudah dikenal
tetapi masih merupakan perdikan kerajaan Majapahit.
Kemudian
mohon perhatikan bait dari naskah Bujangga Manik berikutnya :
Itu
ta bukit Caremay,
tanggeran
na Pada Beunghar,
ti
kidul alas Kuningan,
ti
barat na Walangg Suji,
inya
na lurah Talaga.
(Itu
Gunung Ceremay,
pertanda/pilarnya
Pada Beunghar,
di
selatan wilayah Kuningan,
ke
baratnya Walang Suji,
di
situlah wilayah Talaga.)
alas
di atas bermakna wilayah, sedangkan lurah berarti lembah/jurang yang
dangkal, artinya membandingkan 2 daerah antara alas dan lurah.,
berarti Walungsuji sebagai ibukota dari wilayahnya adalah Talaga. Ini
adalah sebagai bukti keberadaan kerajaan Talaga di wilayah
Majalengka.
Dalam
sejarah sumedang ditulis bahwa raja sumedang larang, Prabu Tajimalela
berputra Prabu Gajah Agung berputra Istri Rajamantri menikah dengan
Prabu Siliwangi/Pamanah Rasa/Jayadewata, sedangkan anak Prabu Gajah
Agung yang lain yaitu sunan guling dan keturunannya kelak melanjutkan
kerajaan sumedang larang, yang menikah dengan pangeran santri.
Dari
pernikahan Prabu Siliwangi dengan Istri Rajamantri melahirkan seorang
putra bernama Prabu Munding Sari Ageung/Munding Surya/ Mundilaya.
Prabu Munding Sari Ageung kelak menikah dengan Ratu Mayang Karuna
anak dari Resi Garasiang yang seharusnya menjadi raja Talaga tetapi
karena lebih tertarik dengan kerohanian/agama beliau memberikan tahta
raja kepada adiknya yaitu Prabu Darma Suci 2.
Menurut
sejarawan Tatang M. Amirin kelahiran Maja Kaler, Majalengka, sekarang
dosen tetap di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Prabu Munding
Surya (Sari) Ageung, setelah menikah dengan Dewi Mayang Karuna,
diberi kekuasan wilayah Kerajaan Maja, mencakup Garasiang (ini
terletak di utara Talaga). Jadi, dapat dikatakan bahwa Prabu Munding
Surya (Sari) Ageung dapat diduga merupakan raja pertama Kerajaan Maja
(tahunnya belum bisa dipastikan). Ketika membicarakan daerah Maja
(salah satu kecamatan di Kabupaten Majalengka sekarang) yang akan,
atau pernah diketahui, dari lacakan Kerajaan Talaga, hanya ada dua.
Pertama: dulu merupakan kadaleman di bawah Kerajaan Talaga yang
dipimpin oleh Dalem Lumaju Agung dan para penerusnya. Kadaleman
adalah bagian dari erajaan Talaga(sebenarnya sudah tidak ada) yang
dipimpin oleh para putra Raja. Kedua, Maja merupakan cikal bakal
Kabupaten Majalengka (5 Januari 1819 Kabupaten Maja berdiri) dan
sekaligus otanyamenjadi ibu kota Kabupaten (suka salah dianggap
ibu kotanya di Sindangkasihihat peta Kabupaten Maja). Tidak pernah
ada yang mengiraetidaknya tidak pernah disebut dalam abad
Talaga–bahwa Maja itu dahulunya merupakan sebuah Kerajaan (di bawah
Galuh-Pajajaran) juga, seperti halnya Talaga. Hanya sedikit literatur
yang menulis tentang Prabu Munding Sari Ageung, ada juga yang
mengkaitkan dengan kisah Mundilaya Dikusumah.
Dari
perkawinannya dengan Dewi Mayangkaruna itu itu Prabu Munding Surya
(Sari) Ageung memperoleh putra, Raden Rangga Mantri kemudian diberi
wilayah untuk dipimpin dengan gelar atau julukan Raden Parung Gangsa.
Parung gangsa dapat diartikan sebagai lembah perunggu bahan pembuat
gamelan. Daerah di sekitar Maja yang bernuansa arung gangsaitu
diduga Anggrawati (anggara = Selasa, sesajinyaperunggu atau kuningan,
wati atau vati = tempat). Raden Rangga Mantri kemudian menikah dengan
Dewi Wulansari atau Dewi Sunyalarang yang kemudian menjadi raja
dengan gelar atau Ratu Parung, Ratu Kerajaan Talaga yang meneruskan
tahta ayahnya Sunan Parung. Oleh karena perkawinan tersebut, maka
Kerajaan Maja digabungkan dengan Kerajaan Talaga.
Kontradiksi
Versi
Cirebon,
Sekitar
tahun 1525-1529 di Cirebon ada pesta besar, dalam pesta itu itu ada
arak arakan/karnaval yang melibatkan pasukan Cirebon dan Demak,
pawai, arak arakan itu tidak terasa sudah jauh melewati Cirebon dan
mulai memasuki wilayah Talaga, di depan arak arakan itu terdiri dari
pasukan Demak, sedangkan Cirebon di belakang, ketika memasuki wilayah
Talaga, pasukan Demak itu ditanya oleh pasukan Talaga dalam bahasa
sunda ada apa maksud kedatangannya ke Talaga dalam pasukan besar,
karena tidak mengerti terjadilah salah paham sehingga terjadi
peperangan besar, pasukan Cirebon/Demak yang dalam jumlah besar dan
persenjataan lengkap berhasil mendesak pasukan Talaga, kemudia para
prajurit Talaga itu melaporkan kejadian ini kepada senapati dan putra
mahkota Aria Kikis (Wanaperi) yang merupakan putra Raden
Ranggamantri/ParungGangsa/Pucuk Umum dengan Ratu Parung. Senapati
Aria Kikis mengamuk dan banyak mengorbankan prajurit Cirebon,
prajurit Talaga bangkit moral-nya, membantu Senapati Aria Kikis,
berhasil mendesak mundur pasukan Cirebon keluar wilayah Talaga.
Pasukan
Cirebon melaporkan kepada Sunan Gunungjati/Syekh Syarief
Hidayatullah, beliau datang menemui Senapati Aria Kikis berikut
pasukannya, seketika itu Aria Kikis takluk dengan pasukannya , serta
menyatakan masuk Islam, sedangkan ayahnya Prabu Pucuk Umum menolak,
melarikan diri ke gunung Ciremai.
Versi
Talaga,
Peperangan
itu terjadi akibat pasukan Demak dan Cirebon meminta pajak yang
sangat besar kepada rakyat Talaga, merasa ditindas rakyat melapor
kepada Senapati Aria Kikis, kemudian Senapati Aria Kikis melakukan
penelusuran ke bawah apakah benar laporan ini, setelah fakta yang
dikumpulkan lengkap Senapati Aria Kikis mengajukan protes kepada
Cirebon, pihak cirebon tidak menerima, akhirnya terjadilah perang,
Senapati Aria Kikis mengobarkan perang suci, Talaga yang jumlah
pasukan dan perlatan perangnya lebih bisa mengusir keluar pasukan
Cirebon keluar dari Talaga, tidak terhitung korban di pihak Cirebon,
Sunan Gunung Jati mendengar konflik ini dan mendatangi Senapati Aria
Kikis di Talaga. Senapati Aria Kikis meminta maaf kepada Kanjeng
Sunan Gunung Jati atas kesalahan ini, dan Sunan gunung Jati-pun saat
itu berfatwa bahwa peperangan ini sudah menjadi kehendak Allah, dan
bukan perang agama, ini akibat salah paham saja. Konsekwensinya
terjadi kesepakatan Perjanjian Keraton Ciburang, salah satunya adalah
Senapati Aria Kikis harus mundur sebagai raja Talaga, dan harus
mengasingkan diri (berkhalwat) ke hutan, kelak kemudian hari beliau
dikenal dengan nama Adipati Wanaperih (Wana=hutan, perih=sakit,
prihatin), artinya senapati yang melakoni hidup prihatin di hutan.
Deklarasi Kesepakatan Keraton Ciburang ini, terjadi sekitar tahun
1550 M, artinya saat itu Raden Rangga Mantri/Pucuk Umum sudah tidak
menjabat sebagai raja lagi (meninggal), mulai saat itu kerajaan
Talaga di bawah pengawasan Cirebon.
Pembahasan
Dalam
sejarah versi Cirebon ada beberapa hal yang tidak sesuai fakta,
diantaranya pada tahun 1525-1530 M, raja Talaga yaitu Raden
Ranggamantri/Pucuk Umum menolak masuk islam dan melarikan diri ke
gunung Ciremai, padahal faktanya beliau beserta istrinya Ratu
Parung/Sunyalarang sudah masuk Islam, hal ini dibuktikan dengan
keberadaan makam beliau di dekat situ Sangiang kecamatan Talaga,
Majalengka menjadi tempat penziarahan umat Islam, mustahil jika
beliau belum menjadi seorang muslim. Bahkan gelar Pucuk Umum itu
diberikan oleh sinuhun Kanjeng Sunan Gunung Jati, saat beliau masuk
islam tahun 1525-1530 M, Pucuk Umum (Makmun menyebut tadinya Pucuk
Umun–bahasa Sunda kuno, diganti jadi Pucuk Umum, karena umum
artinya seluruh umat Islam. Ini salah etimologi, karena ummat (bahasa
Arab, tunggal) jamaknya (plural) bukan umum tapi umam, artinya beliau
menjadi pimpinan atau imam di Talaga. Masuk islamnya Raden Rangga
Mantri, kemungkinan besar disebabkan karena mereka adalah sama sama
cucu dari Prabu Siliwangi, Sunan Gunung Jati cucu Prabu Siliwangi
dari dari Subang Larang, sedangkan Raden Rangga Mantri adalah cucu
Prabu Siliwangi dari Prabu Munding Sari Ageung/Mundinglaya
Pintu Gerbang Makam Sunan Parunggangsa/Ranggamantri/Pucuk Umum
Pintu masuk ke makam Rd Parunggangsa/Rd Ranggamantri
Makam
Sunan Parung Gangsa/Rangga Mantri/Pucuk Umum
Tentang
Pucuk Umum
Banyak
cerita menyebutkan bahwa Prabu Pucuk Umum adalah raja yang menolak
masuk Islam, ada yang menyebut melarikan diri ke gunung ciremai, ada
yang menyebut raja Talaga itu melarikan diri ke Banten, karena tidak
mau masuk islam, dan ada yang menyebut juga menolak agama islam di
Banten, serta melarikan diri ke Baduy.
Pucuk
Umum merupakan gelar/pangkat yang diberikan kepada penguasa di tatar
sunda, ada beberapa daerah yang mempunyai nama ini, diantaranya :
Pucuk
Umum di Talaga, adalah anak dari Prabu Mundingsari Ageung cucu Prabu
Siliwangi/Jayadewata, dikenal juga dengan Raden
Ranggamantri/Parunggangsa, mendapat gelar Pucuk Umum dari Susuhunan
Jati (Syekh Syarief Hidayatullah), beliau menikah dengan Ratu
Sunyalarang (Ratu Parung) yang merupakan pewaris tahta kerajaan
Talaga. Adalah Ratu Simbarkencana, pewaris tahta Talaga yang menikah
dengan Raden Kusumalaya anak dari Prabu Ningrat Kencana/Dewa Niskala
dari Galuh, Raden Kusumalaya ini adalah adik dari Prabu
Siliwangi/Jayadewata. Pernikahan Ratu Simbarkencana dan Raden
Kusumalaya, mempunyai anak Sunan Corendra/Sunan Parung, Sunan
Corendra mempunyai istri 2, 1. Mayangsari anak Prabu Langlangbuana,
Kuningan, menurunkan Ratu Sunyalarang (Ratu Parung), Talaga, 2. Ratu
Sintawati/Ratu Patuakan anak Sunan Patuakan, raja Sumedang Larang,
mempunyai anak bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten
Dewata, kelak menikah dengan Pangeran Santri. Pernikahan Sunan
Corendra dengan Mayangsari mempunyai anak bernama Ratu Sunyalarang
(Ratu Parung), yang nikah dengan Raden Ranggamantri, sedangkan Sunan
Corendra setelah menikah dengan Ratu Sintawati, kelak tinggal di
Sumedang Larang meneruskan tahta mertua-nya, wafat di Sumedang
Larang. Kekuasaan di Talaga diberikan kepada anaknya Ratu
Sunyalarang (Ratu Parung, mengambil nama dari ayahnya). Karena
menikah dengan Ratu Sunyalarang, Raden Ranggamantri mempunyai gelar
Sunan Parunggangsa(Sunan Parung, sama dengan mertuanya), kelak
diberi gelar Pucuk Umum oleh Susuhunan Jati (Syekh Syarief
Hidayatullah), beliau dipercaya menyebarkan syiar islam di wilayah
Talaga. Baik Susuhunan Jati, ataupun Raden Ranggamantri adalah sama
sama cucu Prabu Siliwangi, Raden Ranggamantri adalah anak Prabu
Mundingsari Ageung, cucu Prabu Siliwangi dari istrinya bernama Istri
Rajamantri (Padwawati) anak dari Prabu Gajah Agung, Sumedang Larang.
Sedangkan Sunan Gunungjati anak Lara Santang cucu Prabu Siliwangi
dan Subang Larang.
Pucuk
Umum di Sumedang Larang, adalah anak Sunan Corendra, Talaga dan Ratu
Sintawati, Sumedang Larang, bernama Setyasih yang kelak menikah
dengan Pangeran Santri, Ratu Setyasih ini mempunyai gelar Ratu
Pucuk Umum juga, berarti antara Ratu Talaga dan Ratu Sumedang Larang
adalah saudara seayah, berdasarkan fakta ini Raden
Ranggamantri/Parunggangsa yang juga mempunyai gelar Pucuk Umum juga
tidak diragukan lagi adalah islam.
Pucuk
Umum, Banten, Prabu Siliwangi dari istri Kentring Manik, mempunyai
anak Prabu Surawisesa penerus raja Pajajaran, Adipati Suranggana,
penguasa Banten Girang, dan Adipati Surosowan, penguasa Banten
pesisir. Baik adipati Suranggana ataupun sang Surosowan, sama sama
mempunyai gelar Pucuk Umum. Dalam sejarah yang ditulis sejarawan
Prof Yoseph Iskandar bersumber naskah Wangsakerta, disebutkan bahwa
Adipati Suranggana/Pucuk Umum, Banten Girang adalah murid Syekh Ali
Rahmatullah (Sunan Ampel), ketika itu Sunan Ampel dalam perjalanan
dari Campa ke Jawa Timur, singgah di Banten, kedatangan beliau
diterima dengan hormat oleh penguasa Banten, pesisir Sang Surosowan
dan Banten Girang, sang Suranggana. Dari fakta ini sang
Suranggana/Pucuk Umum Banten, Girang, adalah orang banten pertama
yang memeluk agama islam, dari adipati Suranggana ini mempunyai anak
dikenal dengan nama Ki Mas Jong dan Agus Ju, merupakan makam yang
sering diziarahi umat islam di Banten, Girang, makam
di Banten Girang, tokoh yang membantu Sultan Maulana Hasanudin
menyebarkan agama islam di tatat Banten, dan makam kedua tokoh ini
adalah salah satu makam yang sering diziarahi umat islam. Artinya
Sang Suranggana adalah masih terhitung kakek dari Sultan Maulana
Hasanudin juga sudah memeluk agama islam jauh sebelum kedatangan
Sunan Gunung Jati, sebab Sang Suranggana adalah saudara seayah
dengan Pangeran Cakrabuana dan Subang Larang, yang merupakan Ua dan
Ibu dari Susuhunan Jati. Kemudian dari Sang Surosowan mempunyai
anak beranama Aria Surajaya, dan Nyai Kawung Anten, kelak Nyai
Kawung Anten menikah dengan Sunan Gunung Jati dan melahirkan putra
Maulana Hasanuddin, Sultan Banten I, berarti pernikahan antara Sunan
Gunung Jati dan Nyai Kawung Anten adalah pernikahan sama sama cucu
Prabu Siliwangi/Sri Baduga Maharaja/Jayadewata yang bukan hanya
menyatukan keturunan Subang Larang dan Nyai Kentring Manik, tetapi
juga menyatukan keturunan Prabu Wastukencana, lewat anaknya Prabu
Niskala Dewa, Galuh (ayah Prabu Siliwangi), dan Prabu Susuk Tunggal,
Sunda (ayah Kentring Manik), secara gen/darah Sultan Maulana
Hasanudin adalah pewaris Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, dan
Prabu Wastu Kencana.
Keturunan
Raden Ranggamantri dan Ratu Sunyalarang
Pernikahan
Raden Ranggamantri dan Ratu Sunyalarang (Ratu Parung), mempunyai 5
orang anak, mereka itu adalah :
Prabu
Haurkuning, mempunyai kekuasaan di Talaga yang selang kemudian di
pindah ke Ciamis, kelak keturunan dia banyak yang menjabat sebagai
Bupati di Ciamis.
Sunan
Wanaperih/Aria Kikis, memegang tampuk kekuasaan di walangsuji,
disebut Wanaperih karena sesuai kesepakatan keraton Ciburang, beliau
harus mengasingkan diri/khalwat di hutan, Wana = hutan, Perih =
prihatin, kelak keturunan bukan hanya menjadi Pemimpin/Bupati di
Subang, Purwakarta, Karawang, Cianjur, Sukabumi, Bogor, tetapi
sebagai pendakwah/penyebar islam yang handal di wilayah wilayah
itu, bahkan sampai batavia/jakarta.
Dalem
Lumaju Agung di kawasan Maja.
Dalem
Panuntun di Majalengka
Dalem
Panaekan dulunya dari Walangsuji kemudian berpindah-pindah menuju
Riung Gunung, sukamenak, nunuk Cibodas dan Kulu
Sunan
Wanaperih/Pangeran Salingsingan/Raden Aria Kikis
Adalah
anak kedua dari Raden Ranggamantri/Parunggangsa/Pucuk Umum dengan
Ratu Sunyalarang, beliau memegang tampuk kekuasaan di walangsuji,
selain seorang pendakwah yang handal, beliau terkenal ketika konflik
Talaga dengan Cirebon/Demak, ketika itu beliau dengan pasukan kecil
dan persenjataan minim banyak menghancurkan pasukan Cirebon/Demak dan
berhasil memukul mundur pasukan Cirebon/Demak. Berikut kutipan
Senapati Aria Salingsingan/Aria Kikis dari wipedia :
Hubungan
Demak dan Cirebon[sunting sumber]
Diawali
dangan ikut campurnya Demak untuk menarik upeti dari Talaga melalui
Cirebon, sedangkan kondisi rakyat Kerajaan Talaga yang sangat
memerlukan perhatian pemerintah (lagi susah), akhirnya permintaan
Cirebon dan Demak untuk menarik upeti dari Talaga "ditolak".
Selanjutnya, dengan tiba-tiba saja pasukan Cirebon yang dibantu Demak
menyerang Talaga. Dengan demikian terjadilah peperangan hebat antara
Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Aria Kikis
melawan pasukan penyerobot dari Cirebon dan Demak. Di medan laga
sekalipun prajurit-prajurit Kerajaan Talaga yang dibantu ketat oleh
puragabaya serta pendekar-pendekar dari padepokan-padepokan dan
pesantren-pesantren Islam itu jumlah pasukan dan senjatanya lebih
kecil dibanding jumlah serta kekuatan para aggresor, akan tetapi
pasukan Talaga dengan penuh semangat dan patriotisme tetap mengadakan
perlawanan. Dengan teriakan dan gaung Allahu Akbar, serentak pasukan
Talaga dengan kecepatan dan kesigapan yang luar biasa menerjang
lawannya dan terus menerus mengkikis habis para aggressor yang datang
menyerang tanpa kesopanan dan tatakrama itu. Syukurlah bahwa akhirnya
kekuatan para penyerobot itu dapat dilumpuhkan dan semua pasukan
Cirebon dan Demak dapat diusir keluar dari wilayah Kerajaan Talaga.
Kesepakatan
Keraton Ciburang
Karena
peristiwa itu Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah
serta merta datang ke Talaga dan disambut secara khidmat dan hormat
oleh Pangeran Satyapati Arya Kikis, Senapati Kerajaan Talaga, Sang
Sunan Wanaperih; tidak urung dengan mendapatkan penghormatan besar
dari para prajurit, puragabaya, para pendekar dan rakyat kerajaan
Talaga serta Galuh Singacala. Sesuai dengan kesepakatan pada
musyawarah di Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh para Raja
dari Galuh beberapa waktu yang silam, yang menyatakan bila Kanjeng
Waliyullah sendiri mengucapkan titahnya, mereka semua akan tumut
kepada Kanjeng Sinuhun Cirebon, Syarif Hidayatullah. Ternyata
kesepakatan di Keraton Ciburang itu dengan takdir Allah terkabul
juga. Pada saat itulah Kanjeng Sinuwun Sunan Gunung Jati Cirebon
bersabda; Bahwa peperangan itu sungguh ditakdirkan Allah; tetapi
bukan merupakan perang agama, Terjadinya perang Talaga hanya karena
tindakan keliru pasukan Cirebon dan Demak. Dalam riwayat lain berkata
: “Perang dengan telaga berawal dari masalah sepele, yaitu
perselisihan antara Demang Talaga dan Tumenggung ( Caruban )
Kertanegara akibat salah paham. Mereka berkelahi dan Demang Talaga
terbunuh dalam perkelahian itu. Kematian Demang Talaga ternyata telah
membuat marah Yang Dipertuan Talaga, Prabu Pucuk Umun, dan putera
mahkota, Sunan Wanaperih (Pangeran Salingsingan / Raden Aria kikis) .
Kabarnya, mereka dihasut oleh Rsi Bungsu, yang menuduh peristiwa
tewasnya Demang talaga itu didalangi oleh yang Dipertuan Caruban.
Lalu, pasukan Talaga disiapkan untuk menyerbu wilayah Caruban.”.
Kemudian Sinuwun Cirebon mendamaikannya dan Sinuwun Syarif
Hidayatullah mengijinkan kepada Pangeran Aria Kikis untuk beruzlah
dan berkholwat (riyadhah dan mujahadah) di kampungnya yaitu di
Leuweung Wana yang selanjutnya disebut Wanaperih, dengan hasrat untuk
mendalami hakekat ajaran Agama Islam sedangkan kerajaan Talaga tetap
berdiri secara mandiri, adapun kepemimpinannya diayomi oleh Kanjeng
Waliyullah, Sunan Gunung Djati.
Kejadian
di atas terjadi sekitar tahun 1550 M, ketika semua rakyat Kerajaan
Talaga sudah memeluk agama islam.
Sampai
saat ini penulis belum mengetahui siapa nama istri Sunan Wanaperih,
tetapi dari berbagai sumber beliau mempunyai anak sbb :
Dalem
Cageur
Dalem
Kulanata
Apun
Surawijaya atau Sunan Kidul
Ratu
Radeya menikah dengan Arya Sarngsingan
Ratu
Putri menikah dengan Sayid Faqih Ibrahim lebih dikenenal Sunan
Cipager
Dalem
Wangsa Goparana, berpindah ke Sagalaherang, beliau dan keturunannya
penyebarankan agama islam di wilayah Sumedang, Subang, Purwakarta,
Karawang, Bekasi, Cianjur, Bogor, sampai Batavia/Jakarta. Salah
seorang anaknya bernama Rd Dalem Aria Wiratanudatar (Dalem Cikundul)
adalah disamping seorang juru dakwah/penyebar agama islam, beliau
juga adalah pendiri Cianjur yang terbebas dari dari kekuasaan
Mataram, Sumedang Larang, dan VOC/Belanda. Dalem Cikundul, diangkat
oleh para pemimpin Cianjur, Sukabumi, Bogor, sebagai Raja Gagang,
artinya beliau penerus kerajaan Pajajaran di wilayah tengah.
Keturunannya banyak menjadi ulama besar diantaranya adalah Syekh
Yusuf, (Baing Yusuf) di Kaum, Purwakarta, yang merupakan guru ulama
penulis kitab terkenal di mancanegara/mendunia yaitu Syekh Nawawi,
Albantani, makam Baqi, Mekkah. Ulama lain yang masih keturunannya
adalah KH Abdullah Bin Nuh, ulama Cianjur ini juga selain tokoh
kemerdekaan, juga terkenal di mancanegara, raja Yordania, pernah
bertandang ke rumahnya di Bogor, untuk meminta do'a khusus. Ketika
wafat beberapa dubes negara Islam banyak datang untuk bertaziah.
Sunan
Waparerih wafat sekitar tahun 1590 M, dan dimakamkan di desa Kagok,
Kecamatan Banjaran, Majalengka
makam Sunan Wanaperi/Aria Salingsingam/Aria Kikis, Desa Kagok, Kec Banjaran, Majalengka
pintu masuk ke makam Sunan Wanaperih
ribuan peziarah pada saat haul Sunan Wanaperih
haul Sunan Wanaperih bukan hanya dihadiri dari pulau jawa tapi dari luar juwa
bersambung......