The Great of Grand Master, gelar itulah yang paling cocok diberikan kepada Ama Muhammad Satrip, Cipeucang, Banten. Karena dari tangan beliau telah banyak lahir bukan hanya pelatih, tetapi para ketua pelatih, PS menyebar dari bumi banten, jakarta, bekasi, bogor, sukabumi, cianjur, bandung, lampung, dan beberapa daerah lainnya. Anggota-nya pun mencapai ribuan, sebut saja di daerah bogor saja, anggota PS dari cilendek sampai parung, gunung batu, ciampea, leuwi liang, jumlahnya mencapai ribuan pada tahun 1960-an.
Ama Satrip, begitulah nama panggilannya yang terkenal, beliau dilahirkan dari ibu Hj Rasmi dan ayahnya Haji Saram, mengenal PS sekitar tahun 1930-an dari pendiri PS 1922, tidak lama setelah mempelajari ajaran PS, beliau sudah dipercaya menjadi seorang pelatih, tidak lama berselang beliau-pun dipercaya menjadi ketua pelatih, murid muridnya bukan hanya sekitar cipeucang, banten, tetapi mencapai ujung kulon, dan daerah banten lainnya. Ada kemungkinan Ama Satrip berkenalan dengan pendiri PS, saat beliau berttugas sebagai guru sekolah di ujung kulon, seperti diketahui pendiri PS pernah melakukan perjalanan dan tinggal lama di ujung kulon, sampai saat ini-pun peninggalan perjalanan pendiri PS masih ada. Salah satu kenangan yang tersimpan di dalam hati ibu Satrip (almahurmah) adalah ketika pemerintahan jepang (tahun 1942-1945), ibu Satrip, Ama Satrip, Pendiri PS dan beberapa rombongan lainnya melakukan perjalanan ke ujung kulon, diantaranya ada seorang jepang yang telah mengikuti ajaran PS bernama Kurokawa. Tidak diketahui dari kapan warga negara jepang ini mengikuti Pendiri PS, tapi yang pasti Kurokawa ini seorang yang patuh kepada Pendiri PS. Perjalanan bukan hanya via darat tetapi melalui laut yang ombaknya terkenal, begitu yang diucapkan Ibu Satrip (almarhumah).
Perjalanan berikutnya yang diikuti oleh Ibu Satrip ke ujung kulon, ketika tahun 1960-an, saat itu Ama Satrip, Pendiri PS, Brigjen R Darsono, dan rombongan lainnya, naik kapal motor dari Labuan, setelah sampai di ujung kulon, Pendiri PS diberikan tunggangan kuda oleh warga PS, tetapi beliau menolak, dan mempersilahkan Brigjen Darsono, untuk menaiki kuda itu, akhirnya Pendiri PS berjalan kaki mendampingi Brigjen Darsono ke lokasi tinggal warga PS di sekitar Taman Jaya, Ujung Kulon.
Ama Satrip, mengawali kariernya sebagai seorang guru sekolah, berbagai tempat telah dilakoninya saat sebelum kemerdekaan, diantaranya ujung kulon, dan daerah banten lainnya. Beliau juga pernah tinggal di Paseban, Jakarta Pusat, pernah juga aktif di PNI bersama Ir Soekarno, saat merintis kemerdekaan. Setelah merdeka, beliau kembali ke banten, menjalankan profesinya sebagai guru. Jabatan terakhir yang disandangnya adalah “Penilik Sekolah”, suatu jabatan yang sangat tinggi, apalagi pada saat itu, beliau wafat sekitar tahun 1966 di Cipeucang, Banten, dan sampai saat ini pun nama beliau sangat dikenal oleh masyarakat sebagai “Bapak Penilik”, Ama Satrip dimakamkan di atas bukit di desa Kadu Ketug, Cipeucang, Banten. Adapun jarak makam dengan rumah Ama Satrip sekitar 3 KM, dengan kondisi menanjak, saat itu kondisi jalan tidak terlalu bagus, masih beralas tanah, bisa dibayangkan bagaimana beratnya medan ke lokasi pemakaman, tetapi Tuhan YME berkehendak lain, pada saat Ama Satrip wafat, banyak sekali yang datang, saksi mata menyebutkan seperti lautan manusia yang tidak terhingga, untuk menghantarkan ke pemakaman, sampai akhirnya keranda Ama Satrip tidak digotong ke atas bukit, tetapi hanya digeser secara estafet dari tangan ke tangan, hingga keranda itu sampai di lokasi pemakaman kadu ketug yang jaraknya kurang lebih 3 KM dari rumah, SUBHANNALAH......
Adalah adik Ama Satrip yang juga berperan dalam menyebarkan PS di tanah banten, yaitu Ama Haji Muhammad Sapik, beliau dikenal juga sebagai jaro, lurah. Karena profesi beliau sebagai lurah saat itu, tidak diketahui banyak cerita tentang Ama Muhammad Sapik, karena beliau wafat lebih dahulu, Ama Haji Muhammmad Sapik, dimakamkan bersebelahan dengan Ama Muhammad Satrip, di Kadu Ketug, Cipeucang, Banten.
Pengalaman Bapak H Abbas Heriz (alm), ketika beliau masih muda sekitar tahun 1960-an, saat itu terjadi banyak pemberontakan seperti DI/TII, PRRI, PERMESTA, dll. Aparat pemerintah melakukan penjagaan ketat di setiap di tempat tempat fasilitas umum, seperti terminal, pelabuhan, dan lain lain, dengan memeriksa/merazia berbagai senjata tajam/api. Bapak Abbas Heriz yang saat itu menginap di rumah Ama Satrip, di Cipeucang, Banten, hendak melakukan perjalanan ke Lampung menemui Pendiri PS, bersama Ama Satrip, Ama Hasan. Bapak Abbas Heriz yang waktu itu masih muda diserahi tugas membawa tas/ransel yang berisi keris, golok, tombak, dan berbagai benda pusaka lainnya. Ketika sampai di pelabuhan merak beliau sempat ragu karena adanya penjagaan ketat dari aparat, semua tas yang melewati diperiksa yang kedapatan membawa senjata tajam, api dikenakan langsung ditangkap. Ketika itu Pa Abbas yang berdiri di belakang Ama Satrip, sementara Ama Hasan Basri di belakang Pa Abbas (Pa Abbas diapit oleh Ama Satrip dan Ama Hasan), sempat diam (ngarandeg, bahasa sunda), karena ragu, akhirnya di belakang Ama Hasan Basri menepuk pundak Pa Abbas Heriz, dengan berkata “lajengken juragan” (teruskan juragan), kejadian aneh-pun muncul saat itu tas yang berisi keris, golok, tombak, yang terlihat menonjol keluar sama sekali tidak diperiksa, kaget bercampur haru Pa Abbas saat itu, akhirnya tas/ransel yang berisi golok, tombak, keris sama sekali tidak diperiksa aparat, hal yang samapun terjadi ketika tiba di pelabuhan lampung. Salah satu ucapan yang terkenal dari Ama Satrip adalah "Hirup Katungkul Ku Upah, Paeh Teu Nyaho Diwayah", artinya manusia dalam setiap langkahnya selalu mengharapkan imbalan/upah, untuk pekerjaan yang berbau ekonomi/usaha memang wajar, seperti dagang, bekerja, dll, tetapi untuk ibadah harus dilakukan secara iklas, sodaqoh jika dilakukan mengharap upah/imbalan pujian tidak baik, solat berharap mendapat upah agar disebut soleh tidak baik, dst, padahal manusia setiap saat diintai oleh maut, artinya kematian akan datang kapan saja tanpa mengenal waktu. Bayangkan jika pada saat ajal menjelang, amal yang dilakukan penuh harapan ingin diberi upah pujian apa jadinya ?
Ama Satrip, begitulah nama panggilannya yang terkenal, beliau dilahirkan dari ibu Hj Rasmi dan ayahnya Haji Saram, mengenal PS sekitar tahun 1930-an dari pendiri PS 1922, tidak lama setelah mempelajari ajaran PS, beliau sudah dipercaya menjadi seorang pelatih, tidak lama berselang beliau-pun dipercaya menjadi ketua pelatih, murid muridnya bukan hanya sekitar cipeucang, banten, tetapi mencapai ujung kulon, dan daerah banten lainnya. Ada kemungkinan Ama Satrip berkenalan dengan pendiri PS, saat beliau berttugas sebagai guru sekolah di ujung kulon, seperti diketahui pendiri PS pernah melakukan perjalanan dan tinggal lama di ujung kulon, sampai saat ini-pun peninggalan perjalanan pendiri PS masih ada. Salah satu kenangan yang tersimpan di dalam hati ibu Satrip (almahurmah) adalah ketika pemerintahan jepang (tahun 1942-1945), ibu Satrip, Ama Satrip, Pendiri PS dan beberapa rombongan lainnya melakukan perjalanan ke ujung kulon, diantaranya ada seorang jepang yang telah mengikuti ajaran PS bernama Kurokawa. Tidak diketahui dari kapan warga negara jepang ini mengikuti Pendiri PS, tapi yang pasti Kurokawa ini seorang yang patuh kepada Pendiri PS. Perjalanan bukan hanya via darat tetapi melalui laut yang ombaknya terkenal, begitu yang diucapkan Ibu Satrip (almarhumah).
Perjalanan berikutnya yang diikuti oleh Ibu Satrip ke ujung kulon, ketika tahun 1960-an, saat itu Ama Satrip, Pendiri PS, Brigjen R Darsono, dan rombongan lainnya, naik kapal motor dari Labuan, setelah sampai di ujung kulon, Pendiri PS diberikan tunggangan kuda oleh warga PS, tetapi beliau menolak, dan mempersilahkan Brigjen Darsono, untuk menaiki kuda itu, akhirnya Pendiri PS berjalan kaki mendampingi Brigjen Darsono ke lokasi tinggal warga PS di sekitar Taman Jaya, Ujung Kulon.
Ama Satrip, mengawali kariernya sebagai seorang guru sekolah, berbagai tempat telah dilakoninya saat sebelum kemerdekaan, diantaranya ujung kulon, dan daerah banten lainnya. Beliau juga pernah tinggal di Paseban, Jakarta Pusat, pernah juga aktif di PNI bersama Ir Soekarno, saat merintis kemerdekaan. Setelah merdeka, beliau kembali ke banten, menjalankan profesinya sebagai guru. Jabatan terakhir yang disandangnya adalah “Penilik Sekolah”, suatu jabatan yang sangat tinggi, apalagi pada saat itu, beliau wafat sekitar tahun 1966 di Cipeucang, Banten, dan sampai saat ini pun nama beliau sangat dikenal oleh masyarakat sebagai “Bapak Penilik”, Ama Satrip dimakamkan di atas bukit di desa Kadu Ketug, Cipeucang, Banten. Adapun jarak makam dengan rumah Ama Satrip sekitar 3 KM, dengan kondisi menanjak, saat itu kondisi jalan tidak terlalu bagus, masih beralas tanah, bisa dibayangkan bagaimana beratnya medan ke lokasi pemakaman, tetapi Tuhan YME berkehendak lain, pada saat Ama Satrip wafat, banyak sekali yang datang, saksi mata menyebutkan seperti lautan manusia yang tidak terhingga, untuk menghantarkan ke pemakaman, sampai akhirnya keranda Ama Satrip tidak digotong ke atas bukit, tetapi hanya digeser secara estafet dari tangan ke tangan, hingga keranda itu sampai di lokasi pemakaman kadu ketug yang jaraknya kurang lebih 3 KM dari rumah, SUBHANNALAH......
Adalah adik Ama Satrip yang juga berperan dalam menyebarkan PS di tanah banten, yaitu Ama Haji Muhammad Sapik, beliau dikenal juga sebagai jaro, lurah. Karena profesi beliau sebagai lurah saat itu, tidak diketahui banyak cerita tentang Ama Muhammad Sapik, karena beliau wafat lebih dahulu, Ama Haji Muhammmad Sapik, dimakamkan bersebelahan dengan Ama Muhammad Satrip, di Kadu Ketug, Cipeucang, Banten.
Pengalaman Bapak H Abbas Heriz (alm), ketika beliau masih muda sekitar tahun 1960-an, saat itu terjadi banyak pemberontakan seperti DI/TII, PRRI, PERMESTA, dll. Aparat pemerintah melakukan penjagaan ketat di setiap di tempat tempat fasilitas umum, seperti terminal, pelabuhan, dan lain lain, dengan memeriksa/merazia berbagai senjata tajam/api. Bapak Abbas Heriz yang saat itu menginap di rumah Ama Satrip, di Cipeucang, Banten, hendak melakukan perjalanan ke Lampung menemui Pendiri PS, bersama Ama Satrip, Ama Hasan. Bapak Abbas Heriz yang waktu itu masih muda diserahi tugas membawa tas/ransel yang berisi keris, golok, tombak, dan berbagai benda pusaka lainnya. Ketika sampai di pelabuhan merak beliau sempat ragu karena adanya penjagaan ketat dari aparat, semua tas yang melewati diperiksa yang kedapatan membawa senjata tajam, api dikenakan langsung ditangkap. Ketika itu Pa Abbas yang berdiri di belakang Ama Satrip, sementara Ama Hasan Basri di belakang Pa Abbas (Pa Abbas diapit oleh Ama Satrip dan Ama Hasan), sempat diam (ngarandeg, bahasa sunda), karena ragu, akhirnya di belakang Ama Hasan Basri menepuk pundak Pa Abbas Heriz, dengan berkata “lajengken juragan” (teruskan juragan), kejadian aneh-pun muncul saat itu tas yang berisi keris, golok, tombak, yang terlihat menonjol keluar sama sekali tidak diperiksa, kaget bercampur haru Pa Abbas saat itu, akhirnya tas/ransel yang berisi golok, tombak, keris sama sekali tidak diperiksa aparat, hal yang samapun terjadi ketika tiba di pelabuhan lampung. Salah satu ucapan yang terkenal dari Ama Satrip adalah "Hirup Katungkul Ku Upah, Paeh Teu Nyaho Diwayah", artinya manusia dalam setiap langkahnya selalu mengharapkan imbalan/upah, untuk pekerjaan yang berbau ekonomi/usaha memang wajar, seperti dagang, bekerja, dll, tetapi untuk ibadah harus dilakukan secara iklas, sodaqoh jika dilakukan mengharap upah/imbalan pujian tidak baik, solat berharap mendapat upah agar disebut soleh tidak baik, dst, padahal manusia setiap saat diintai oleh maut, artinya kematian akan datang kapan saja tanpa mengenal waktu. Bayangkan jika pada saat ajal menjelang, amal yang dilakukan penuh harapan ingin diberi upah pujian apa jadinya ?
Ama Muhammad Satrip, Tjipeucang, Banten, 1962
Salah satu cucunya adalah Laksmana TNI Ir. Eden Gunawan, yang menjabat kepala BIN di Maluku, Laskmana TNI Ir Eden Gunawan adalah anak dari Drs Husein Sastra (alm dosen IKIP Bandung, Unpak Bogor) , salah satu tokoh yang ikut mendirikan organisasi PS di Bandung, berdasarkan akta notaris Koswara.