Kapan pertama kali masuknya Islam ke Tatar Sunda? Sampai kini belum diketahui secara pasti, karena belum ditemukan bukti-bukti yang cukup kuat tentang hal itu. Namun, dari segi geografis dapat ditelusuri bahwa Tatar Sunda berada pada lintasan pelayaran niaga internasional pada kurun waktu abad ke-15 sampai abad ke-17 Masehi. Ditinjau dari letak geografis, boleh jadi pantai utara Tatar Sunda adalah daerah yang lebih dahulu mendapat sentuhan agama Islam daripada Jawa Tengah dan Jawa Timur serta wilayah Indonesia bagian timur lainnya.
Dari aspek geografis inilah dapat dipahami bahwa dalam tahap awal pembawa dan penyebar agama Islam di Nusantara pada masa-masa permulaan adalah golongan pedagang yang pada awalnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan sebagai pendorong utama untuk berkunjung ke kepulauan Nusantara. Hal itu bersamaan waktunya dengan masa perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional antara negeri-negeri di bagian Asia Barat Daya, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Kedatangan para pedagang muslim ke Nusantara dalam jaringan pelayaran internasional telah berlangsung sebelum zaman Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka –yang kemudian menjadi pusat kerajaan Islam yang mempunyai hubungan ekonomi perdagangan dengan daerah-daerah lain di Nusantara– memungkinkan tersebarnya ajaran Islam ke seluruh wilayah kepulauan Nusantara.
Di Tatar Sunda, seperti diceriterakan dalam naskah Carita Parahiyangan, bahwa seorang pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa putera kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora yang merupakan adik kandung dari Prabu Lianggabuana (buyut Prabu Siliwangi, jayadewata, pamanah rasa) yang gugur di perang bubat, Sang Bunisora menjadi Raja penganti sementara kerajaan Galuh/Sunda, karena sang putra mahkota yang masih kecil uasia 9 tahun bernama wastukencana, kelak disamping memimpin kerajaan galuh/sunda ke dalam kemakmuran seperti prasasti galuh juga diberi usia panjang sampai 120 tahun. Wastukencana dididik oleh Bunisora dengan bermacam ilmu pemerintahan, agama bahkan Prabu Wastukencana ini sering menggembara menuntut ilmu sampai ke lampung, salah satu istrinyapun berasal dari lampung yg kelak menguasai kerajaan sunda/pakuan yaiitu susuk tunggal, Jadi hubungan Bratalegawa dan Wastukencana ini adalah saudara sepupu, berarti Bratalegawa adalah kakek sepupu dari Prabu Siliwangi, dimana Prabu Siliwnagi juga merupakakan kakek Sunan Gunung Jati, Bratalegawa memilih hidupnya sebagai saudagar besar; biasa berlayar ke Sumatera, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaannya, ia pun dikenal dengan sebutan Haji Purwa.
Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, menjadi pemeluk Islam. Namun, kakaknya pun menolak. Ketidakberhasilan tersebut tidak menyebabkan keretakan hubungan kekeluargaan, Haji Purwa tetap memberi bantuan untuk kelancaran pemerintahan saudara-saudaranya. Haji Purwa kemudian menetap di Cirebon (Caruban) Girang yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Galuh.
Bila kedatangan Haji Purwa di tanah Sunda dijadikan titik tolak masuknya agama Islam ke Tatar Sunda pada pertengahan abad ke-14, hal ini mengandung arti bahwa pertama, agama Islam yang pertama kali masuk ke Tatar Sunda berasal dari Makkah yang dibawa oleh Bratalegawa seorang pedagang, dan kedua, pada tahap awal kedatangannya, agama ini tidak hanya menyentuh daerah pesisir utara Jawa Barat, namun diperkenalkan juga di daerah pedalaman. Akan tetapi, agama itu tidak segera menyebar secara luas di masyarakat. Hal ini disebabkan tokoh penyebarnya belum banyak dan pengaruh sunda wiwitan dari Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Padjadjaran terhadap masyarakat setempat masih kuat.
Sementara itu di Karawang terdapat sebuah pesantren di bawah pimpinan Syekh Quro sebagai penyebar dan guru agama Islam pertama di daerah Karawang. Syekh Quro nama aslinya adalah Syekh Hasanuddin putra Syekh Yusuf Sidik, seorang ulama yang datang dari negeri Campa (daerah Vietnam sekarang). Ia datang di Pulau Jawa –sebagai utusan, pada abad ke-14 sezaman dengan kedatangan Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Nurjati yang kelak menikah dengan cucu Bratalegawa (haji Purwa) bernama Hadijah, menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit. Dalam pelayarannya itu, armada Cheng Ho tiba di Pura Karawang. Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan bertempat tinggal di sana. Di Karawang ia menikah dengan Ratna Sondari, puteri Ki Gedeng Karawang, dan membuka pesantren yang diberi nama pondok Quro yang khusus mengajarkan al-Qur’an, karena itulah Syekh Hasanuddin kemudian dikenal dengan nama Syekh Quro. Syekh Quro bermukim di Karawang sampai wafat dan dimakamkan di Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Wadas, Karawang.
Sumber lain yang menunjukkan datangnya Islam pertama kali di Jawa Barat adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon, 1720 (Lihat: Atja, 1986). Naskah ini antara lain menyebutkan adanya tokoh yang bernama Syekh Nurjati yang disebut pula Syekh Datuk Kahpi, Syekh Idofi, atau Syekh Nuruljati, seorang ulama yang berasal dari Arab (Persi), selain menikah dengan cucu Haji Purwa (Bratalegawa) juga merupakan guru dari anak anak Prabu Siliwangi yaitu Pangeran Cakrabuana dan Nyi Rara Santang (ibunda Sunan Gunung Jati). Jadi bisa disimpulkan Syekh Nurjati menyebarkan agama islam jauh sebelum era walisongo, sedangkan Bratalegawa yang juga kakek mertua Syekh Nurjati lebih jauh lagi (lebih dahulu) menjadi Haji sebelum kedatangan Syekh Nurjati, itulah sebabnya Bratalegawa mendapat gelar Haji Purwa atau Haji pertama dari tanah jawa. Syekh Nurjati datang sebagai utusan Raja Parsi bersama 12 orang pengikutnya sekitar abad ke-14, pada masa Ki Gedeng Jumajanjati. Atas izin dan kebaikan penguasa pelabuhan itu, Syekh Nurjati kemudian menetap dan bermukim di Pasambangan, di bukit Amparan Jati dekat Pelabuhan Muarajati, kurang lebih lima kilometer sebelah utara Kota Cirebon sekarang. Ia kemudian menjadi guru agama Islam dan mendirikan pesantren yang tumbuh menjadi sebuah pesantren yang cukup ramai. Pesantren di Muara Jati lebih berkembang lagi ketika datangnya Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, dari Mesir .
Dalam tahap awal, sebagaimana yang dilakukan Bratalegawa, penyebaran agama Islam rupanya baru berlangsung secara terbatas di lingkungan tempat tinggal para tokoh agama tersebut. Boleh jadi, kegiatan mereka dalam menyebarkan agama Islam pada tahap awal adalah mengenalkan agama Islam kepada sejumlah penduduk. Seiring dengan terbentuknya pesantren-pesantren sebagai tempat pembentukan kader ulama, yaitu para guru agama yang mendidik beberapa orang santri di pesantren atau paguron masing-masing, maka syiar Islam mulai berkembang pesat, cahaya Islam mulai tersebar di Tatar Sunda.
Dari aspek geografis inilah dapat dipahami bahwa dalam tahap awal pembawa dan penyebar agama Islam di Nusantara pada masa-masa permulaan adalah golongan pedagang yang pada awalnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan sebagai pendorong utama untuk berkunjung ke kepulauan Nusantara. Hal itu bersamaan waktunya dengan masa perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional antara negeri-negeri di bagian Asia Barat Daya, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Kedatangan para pedagang muslim ke Nusantara dalam jaringan pelayaran internasional telah berlangsung sebelum zaman Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka –yang kemudian menjadi pusat kerajaan Islam yang mempunyai hubungan ekonomi perdagangan dengan daerah-daerah lain di Nusantara– memungkinkan tersebarnya ajaran Islam ke seluruh wilayah kepulauan Nusantara.
Di Tatar Sunda, seperti diceriterakan dalam naskah Carita Parahiyangan, bahwa seorang pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa putera kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora yang merupakan adik kandung dari Prabu Lianggabuana (buyut Prabu Siliwangi, jayadewata, pamanah rasa) yang gugur di perang bubat, Sang Bunisora menjadi Raja penganti sementara kerajaan Galuh/Sunda, karena sang putra mahkota yang masih kecil uasia 9 tahun bernama wastukencana, kelak disamping memimpin kerajaan galuh/sunda ke dalam kemakmuran seperti prasasti galuh juga diberi usia panjang sampai 120 tahun. Wastukencana dididik oleh Bunisora dengan bermacam ilmu pemerintahan, agama bahkan Prabu Wastukencana ini sering menggembara menuntut ilmu sampai ke lampung, salah satu istrinyapun berasal dari lampung yg kelak menguasai kerajaan sunda/pakuan yaiitu susuk tunggal, Jadi hubungan Bratalegawa dan Wastukencana ini adalah saudara sepupu, berarti Bratalegawa adalah kakek sepupu dari Prabu Siliwangi, dimana Prabu Siliwnagi juga merupakakan kakek Sunan Gunung Jati, Bratalegawa memilih hidupnya sebagai saudagar besar; biasa berlayar ke Sumatera, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaannya, ia pun dikenal dengan sebutan Haji Purwa.
Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, menjadi pemeluk Islam. Namun, kakaknya pun menolak. Ketidakberhasilan tersebut tidak menyebabkan keretakan hubungan kekeluargaan, Haji Purwa tetap memberi bantuan untuk kelancaran pemerintahan saudara-saudaranya. Haji Purwa kemudian menetap di Cirebon (Caruban) Girang yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Galuh.
Bila kedatangan Haji Purwa di tanah Sunda dijadikan titik tolak masuknya agama Islam ke Tatar Sunda pada pertengahan abad ke-14, hal ini mengandung arti bahwa pertama, agama Islam yang pertama kali masuk ke Tatar Sunda berasal dari Makkah yang dibawa oleh Bratalegawa seorang pedagang, dan kedua, pada tahap awal kedatangannya, agama ini tidak hanya menyentuh daerah pesisir utara Jawa Barat, namun diperkenalkan juga di daerah pedalaman. Akan tetapi, agama itu tidak segera menyebar secara luas di masyarakat. Hal ini disebabkan tokoh penyebarnya belum banyak dan pengaruh sunda wiwitan dari Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Padjadjaran terhadap masyarakat setempat masih kuat.
Sementara itu di Karawang terdapat sebuah pesantren di bawah pimpinan Syekh Quro sebagai penyebar dan guru agama Islam pertama di daerah Karawang. Syekh Quro nama aslinya adalah Syekh Hasanuddin putra Syekh Yusuf Sidik, seorang ulama yang datang dari negeri Campa (daerah Vietnam sekarang). Ia datang di Pulau Jawa –sebagai utusan, pada abad ke-14 sezaman dengan kedatangan Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Nurjati yang kelak menikah dengan cucu Bratalegawa (haji Purwa) bernama Hadijah, menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit. Dalam pelayarannya itu, armada Cheng Ho tiba di Pura Karawang. Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan bertempat tinggal di sana. Di Karawang ia menikah dengan Ratna Sondari, puteri Ki Gedeng Karawang, dan membuka pesantren yang diberi nama pondok Quro yang khusus mengajarkan al-Qur’an, karena itulah Syekh Hasanuddin kemudian dikenal dengan nama Syekh Quro. Syekh Quro bermukim di Karawang sampai wafat dan dimakamkan di Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Wadas, Karawang.
Sumber lain yang menunjukkan datangnya Islam pertama kali di Jawa Barat adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon, 1720 (Lihat: Atja, 1986). Naskah ini antara lain menyebutkan adanya tokoh yang bernama Syekh Nurjati yang disebut pula Syekh Datuk Kahpi, Syekh Idofi, atau Syekh Nuruljati, seorang ulama yang berasal dari Arab (Persi), selain menikah dengan cucu Haji Purwa (Bratalegawa) juga merupakan guru dari anak anak Prabu Siliwangi yaitu Pangeran Cakrabuana dan Nyi Rara Santang (ibunda Sunan Gunung Jati). Jadi bisa disimpulkan Syekh Nurjati menyebarkan agama islam jauh sebelum era walisongo, sedangkan Bratalegawa yang juga kakek mertua Syekh Nurjati lebih jauh lagi (lebih dahulu) menjadi Haji sebelum kedatangan Syekh Nurjati, itulah sebabnya Bratalegawa mendapat gelar Haji Purwa atau Haji pertama dari tanah jawa. Syekh Nurjati datang sebagai utusan Raja Parsi bersama 12 orang pengikutnya sekitar abad ke-14, pada masa Ki Gedeng Jumajanjati. Atas izin dan kebaikan penguasa pelabuhan itu, Syekh Nurjati kemudian menetap dan bermukim di Pasambangan, di bukit Amparan Jati dekat Pelabuhan Muarajati, kurang lebih lima kilometer sebelah utara Kota Cirebon sekarang. Ia kemudian menjadi guru agama Islam dan mendirikan pesantren yang tumbuh menjadi sebuah pesantren yang cukup ramai. Pesantren di Muara Jati lebih berkembang lagi ketika datangnya Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, dari Mesir .
Dalam tahap awal, sebagaimana yang dilakukan Bratalegawa, penyebaran agama Islam rupanya baru berlangsung secara terbatas di lingkungan tempat tinggal para tokoh agama tersebut. Boleh jadi, kegiatan mereka dalam menyebarkan agama Islam pada tahap awal adalah mengenalkan agama Islam kepada sejumlah penduduk. Seiring dengan terbentuknya pesantren-pesantren sebagai tempat pembentukan kader ulama, yaitu para guru agama yang mendidik beberapa orang santri di pesantren atau paguron masing-masing, maka syiar Islam mulai berkembang pesat, cahaya Islam mulai tersebar di Tatar Sunda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar